Bagikan:

JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly melalui Dirjen Pemasyarakatan Reynhard Silitonga menyebut narapidana asimilasi yang kembali berulah hanya 0,2 persen dari total 38.882 narapidana. Selain itu, angka residivis di Indonesia pun lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.

Untuk itu, masyarakat tak perlu khawatir dengan kebijakan asimilasi tersebut. Terlebih, lembaga permasyarakatan (lapas) merupakan tempat untuk membina para pelaku kejahatan agar berkelakuan lebih baik, bukan hanya tempat pemberian hukuman.

Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala sepakat dengan program asimilasi yang betujuan untuk mencegah penyebaran COVID-19 di lapas dan rumah tahanan (rutan). Berdasarkan data miliknya, hanya 55 narapidana yang kembali berulah dan semuanya sudah ditindak kepolisian.

"Bisa dibilang begitu (asimilasi berhasil). Yang pasti profil Indonesia (angka residivis) tidak beda dengan profil dunia," ucap Adrianus kepada VOI, Jumat, 8 Mei.

Namun, Adrianus mengatakan, masyarakat tetap khawatir dengan keberadaan narapidana asimilasi di tengah mereka. Rasa khawatir ini, kata Adrianus, disebabkan paradigma masyarakat tentang narapidana. Mereka yang sempat menjalani masa tahanan di lapas selalu dipandang negatif masyarakat.

"Masyarakat kan dari dulu berpandangan narapidana sebagai penjahat yang tak akan sembuh. Sudah keluar lapas pun tetap dicap penjahat. Masih dicurigai di mana-mana. Jadi, wajar saja kalau sekarang pun begitu," papar Adrianus.

Sementara, Kriminolog Universitas Indonesia lainnya, Ferdinand Andi Lolo mengatakan, rasa aman masyarakat tak bisa diukur dengan berapa jumlah narapidana yang kembali berulah.

Bahkan, ada kemungkinan jika jumlah 0,2 persen merupakan narapidana yang hanya terdata atau bisa dibilang mereka yang tertangkap ketika beraksi. Sehingga, ada kemungkinan jumlahnya bisa lebih dari itu.

"Angka yang disebut tersebut adalah kejahatan yang terdata, misalnya melalui pemberitahuan, bukan tidak mungkin ada yang tidak terdeteksi," ungkap Ferdinand.

Untuk itu, Ferdinand menyarankan, Kemenkumham memperbaiki atau mengubah metode pengawasan narapidana asimilasi ini. Dengan begitu, ketika ada program asimilasi pada kesempatan berikutnya, tidak ada narapidana yang berulah dengan mengulangi pelanggaran pidana.

"Rasa aman masyarakat tidak diukur dengan statistik. Kemenkumham lebih baik mencari faktor yang menyebabkan mengapa terjadi pengulangan kejahatan, dan memperbaiki metode pengawasannya," kata Ferdinand.

Asimilasi dari Kemenkumham

Kemenkumham membebaskan sebagian narapidana dan anak-anak untuk mencegah penyebaran virus corona atau COVID-19. Pembebasan sebagian narapidana itu akan melalui asimilasi dan pembebasan bersyarat.

Hal ini sesuai dengan surat keputusan bernomor M.HH -19.PK.01.04.04. Tahun 2020 yang berisi tentang pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi dan integrasi adalah upaya pencegahan dan penyelamatan narapidana dan anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara dari penyebaran COVID-19.

Namun, ada beberapa ketentuan atau aturan lainnya bagi narapidana dan anak yang akan dibebaskan melalui asimilasi. Pertama, bagi narapidana yang dua pertiga masa pidananya jatuh pada 31 Desember 2020 dan kemudian bagi anak setengah masa pidananya jatuh pada 31 Desember 2020.

Syarat kedua, yakni, narapidana dan anak tersebut tidak terikat dengan PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dan tidak sedang menjalani subsider, serta bukan warga negara asing.

Sementara, ketentuan narapidana dan anak yang dibebaskan dengan cara integrasi, yakni pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang kebebasan adalah narapidana yang telah menjalani dua pertiga masa pidananya. Sementara bagi anak adalah mereka yang telah menjalani setengah masa pidananya.