Bagikan:

JAKARTA - Ribuan narapidana di seluruh Indonesia dibebaskan melalui program asimilasi dan integarasi terkait pencegahan penyebaran COVID-19 di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan). Tetapi, banyak di antara mereka justru kembali berulah dan berakhir di jeruji besi.

Jika melihat lebih jauh, ada faktor pendorong yang menyebabkan mereka kembali melakukan pelanggaran pidana, salah satunya permasalahan ekonomi. Terlebih susahnya mencari pekerjaan di saat pandemi COVID-19.

Hal ini terjadi pada seorang mantan narapida Lapas kelas IIA Jambi bernama Ardiyansyah (31). Pria ini kembali ditangkap polisi karena mencuri ponsel di salah satu rumah warga, Senin, 13 April.

Pencurian yang dilakukannya dengan cara membobol kunci gembok rumah sasaran ketika keadaan kosong. Aksinya itu bisa terungkap ketika polisi menemukan beberapa petunjuk yang mengarah kepadanya.

Usai ditangkap, Ardiyansyah mengaku berbuat tindak pidana karena tak memiliki pekerjaan setelah dibebaskan. Mencuri menjadi cara dia memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pengamat hukum pidana Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad menyebut ada beberapa faktor pendorong para narapidana ini mengulangi perbuatannya. Pertama, terkait dengan karakter masing-masing individu.

Mereka yang memiliki karekter buruk, memang berpotensi besar mengulangi perbuatannya. Namun, yang menjadi sorotan adalah soal hukuman penjara yang tidak bisa merubah karakter mereka untuk hidup lebih baik di masyarakat.

"Penjara yang telah dijalani ternyata belum berhasil menjerakan dan mengedukasi supaya menjadi orang yang lebih baik. Seharusnya setelah dipenjara taat hukum dan bermasyarakat," ucap Suparji kepada VOI, Selasa, 21 April.

Kedua yakni berkaitan dengan situasi yang serba sulit ini, di saat pandemi COVID-19, mereka kesulitan mencari pekerjaan yang layak. Hal itu pun diperburuk dengan pandangan negatif masyarakat soal narapidana.

Dengan kesulitan yang dihadapi, mereka pun mencari jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Cara yang dipilih pun tentu kembali melakukan aksi kejahatan.

"Situasi serba susah termasuk masalah ekonomi akibat corona yang menyebabkan napi tersebut mencari jalan pintas untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Mereka tidak bisa bekerja demi menyambung hidupnya," papar Suparji.

Meski banyak yang menganggap program asimilasi dan integrasi ini kurang tepat, namun Suparji menilai, kebijakan itu tidak sepenuhnya salah. Hanya saja, pada penerapan atau eksekusinya yang tidak cermat.

Seharusnya pada program tersebut Kemenkum HAM lebih menyortir narapidana yang akan dibebaskan melalui pertimbangan kemungkinan mereka tak berulah kembali atau kesiapan dari sisi kemampuan ketika dibebaskan.

"Tidak sepenuhnya salah, tapi tidak cermat memetakan siapa yang diberikan asimilasi. Mestinya pertimbangan utama bahwa yang bersangkutan sudah lebih baik dan tidak akan mengulangi kejahatannya," tegasnya.

Dengan sudah terjadinya dampak dari pembebasan narapidana tersebut, Suparji menyarankan agar pemerintah segera berkoordinasi dengan kepolisian untuk memberikan efek jera kepada mereka. Hal ini dilakukan agar para narapidana lain yang dibebaskan menjadi takut untuk mengulangi perbuatannya.

Hanya saja, efek jera yang dimaksud bukan langsung memberikan tindakan tegas terukur atau tembak ditempat. Penindakan harus sesuai dengan aspek hukum dan HAM yang berlaku

"Supaya ada efek jera baik untuk yang bersangkutan maupun yang lain. Namun, demikian tetap memperhatikan aspek hukum dan HAM. Tembak ditempat harus sesuai prosedur, misalnya jika ada bukti kejahatan, melakukan perlawanan dan hanya untuk melumpuhkan tetapi bukan mematikan," pungkas Suparji.