Bagikan:

JAKARTA - Ribuan narapidana di seluruh Indonesia dibebaskan melalui program asimilasi dan integarasi terkait dengan pencegahan penularan virus corona atau COVID-19. Hanya saja, banyak di antara mereka yang justru kembali berulah dan harus berurusan dengan polisi lagi.

Para narapidana yang dibebaskan ini tak memanfaatkan kebijakan Kementerian Hukum dan HAM untuk tetap dirumah sesuai dengan tujuan awal pemerintah. Sehingga, banyak pihak yang mengganggap kebijakaan tersebut tidak efektif dan hanya menyebabkan permasalahan baru

Salah satu contohnya, AR dan JN. Mereka berdua merupakan warga binaan yang sudah mendekam beberap tahun di lembaga permasyarakat (lapas) atas kasus pencurian dengan pemberatan.

Keduanya kembali ditangkap karena menodong seorang penumpang angkutan kota (Angkot) M15, tujuan Tanjung Priok arah Kota, pada Minggu, 12 April. Ketika beraksi mereka nekat melukai korbannya dengan senjata tajam.

Atas kejadian itu, mereka pun kembali berurusan dengan polisi. JN yang ditangkap lebih dulu terpaksa ditembak pada bagian kaki karena mencoba melarikan diri. Sedangkan, AR tewas dengan luka tembak karena menyerang polisi dengan senjata tajam.

Dengan adanya kasus ini dan lainnya, para narapida seolah tak takut untuk mengulangi perbuatannya. Sehingga, muncul anggapan atau pertanyaan, hukuman yang paling tepat diberikan kepada mereka dan menjadi pelatuk bagi narapidana lainnya.

Menurut pengamat hukum pidana Universitas Al-Azhar Suparji Ahmad, untuk saat ini pemberian hukuman maksimal merupakan langkah yang terbaik untuk menjadikan trigger bagi narapidana lainnya. Tujuannya tak lain agar hakim tak perlu lagi mempertimbangkan faktor keringanan untuk narapidana asimilasi yang kembali berulah.

"Hakim dalam putusanya tidak perlu mempertimbangkan alasan yang meringankan. Napi tersebut harus dihukum berat karena menyalahgunakan asimilasi," ucap Suparji kepada VOI, Senin, 20 April.

Alasan kedua pemberian hukuman maksimal, kata Suparji, lantaran aksi dapat mengganggu fokus pemerintah dalam menangani penyebaran COVID-19 yang semakin masif setiap harinya. Terlebih, di masa pandemi keberaan mereka pun mengakibatkan keresahan di masyarakat.

"Sangat mengganggu negara dan masyarakat karena situasi darurat atau pendemi COVID-19," tegas Suparji.

Kriminolog Universitas Indonesia Ferdinand Andi Lolo menambahkan, pemberian hukuman maksimal memang merupakan langkah artenatif. Sebab, belum ada payung hukum untuk langkah-langkah mengantisipasi aksi narapidana di tengah pandemi COVID-19.

Untuk itu, disarankan pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) sebagai pedoman hukum bagi polisi untuk melakukam penindakan.

"Agar ada segera pedoman hukum bagi aparat. Tidak mencari dan mencocokkan Pasal-Pasal yang mengatur situasi umum atau normal," kata Ferdinand.

Kemudian, minimnya pengawasan kepada narapidana pun menjadi alasan lainnya. Hal ini terkendala pada pelaksaan di lapangan karena adanya kebijakan bekerja dari rumah. Terlebih, kurangnya sumber daya manusia (SDM) untuk mengawasi narapidana yang dibebaskan dengan jumlah mencapai ribuan orang.

"Sehingga tidak sinkron antara kebijakan Kemenkumham dan pengawasan di lapangan oleh jaksa dan kontrol oleh Balai Pemasyarakatan (bapas)," tandas Ferdinand.