'Raih' Tambahan Dukungan Soal Belum Diberinya Izin Vaksin Nusantara, IDI: BPOM Jangan Mau Diajak <i>Cincai</i>
Kepala BPOM Penny Lukito. (Foto: Dok. BPOM)

Bagikan:

JAKARTA - Sikap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang tegas belum memberi izin tim peneliti vaksin Nusantara melanjutkan uji klinis fase 2 mendapat apresiasi sejumlah pihak.

BPOM menganggap uji klinik fase 1 vaksin besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto belum memenuhi kaidah. Hal itu yang menyebabkan belum adanya lampu hijau peneliti untuk meneruskan uji klinik fase 2. 

Ujungnya, dukungan terhadap badan yang mengatur peredaran obat dan makanan ini bermunculan termasuk dari ratusan tokoh yang terdiri dari ahli, peneliti, dan tokoh nasional.

Melalui konferensi pers secara daring, gerakan ini memberikan dukungan terhadap BPOM dengan membacakan surat terbuka. Mantan Direktur RSCM Akmal Taher memaparkan mengapa para tokoh memberikan dukungan terhadap BPOM.

Kata dia, badan yang dibentuk oleh pemerintah ini, telah bekerja sesuai dengan sistem yang ada selama bertahun-tahun untuk mengawasi peredaran obat terutama vaksin di Indonesia. Hal inilah yang harus dijaga oleh khalayak di tengah polemik Vaksin Nusantara.

"Ini yang mesti kita jaga dan apa bahayanya, kalau itu terganggu? Yang paling bahaya sudah jelas kalau vaksin atau obat yang beredar itu keamanannya tidak terjamin. Kita belum bicara soal manfaat ya, keamananannya dulu dan itu bahaya sekali," ujar Akmal pada Sabtu, 17 April.

Tak hanya itu, polemik semacam ini juga akan membuat sistem pengawasan obat di Tanah Air akan terganggu dan hal ini memiliki dampak serius.

"Karena modal BPOM kerja itu satu, trust. Trust dari siapa, semua pihak di dalam dan luar negeri. Jadi sekali terganggu jangan bayangkan akibatnya hanya masyarakat yang terancam keselamatannya tapi juga sistem," tutur dia. 

BPOM jangan mau diajak cincai

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) meminta pengembangan Vaksin Nusantara tetap harus mengedepankan protokol dan prosedur yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pengembangan vaksin COVID-19 ini tak boleh hanya mengedepankan rasa nasionalisme maupun niat baik.

"Prosedur dan protokol (pengembangan vaksin, red) harus disesusaikan. Jangan hanya kita berpikir niat baik, nasionalisme lalu sudahlah, protokolnya cincai lah. Enggak bisa begitu," kata Ketua PB IDI Daeng M Faqih.

Daeng yakin BPOM masih menjaga profesionalisme. Dia bilang, jika badan ini tak profesional maka obat dan vaksin yang saat ini tersebar di Tanah Air bakal tak karuan.

"Kalau kita bilang BPOM enggak profesional, sudah buyar semua itu obat-obatan, vaksin yang jumlahnya ribuan, jutaan," ucap Daeng.

Dia juga angkat bicara soal polemik hubungan Komisi IX DPR RI dengan BPOM yang terkesan tak akur karena vaksin COVID-19 pengembangan eks Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Kata dia, DPR RI khususnya Komisi IX yang merupakan mitra BPOM boleh melakukan pengawasan.

"Tapi, menurut saya apa yang dilakukan DPR itu (cukup, red) mengawasi kinerja bukan mengambil alih kinerja," tegasnya.

"Kalau sampai mengambil alih kinerja, saya khawatir kegiatan lembaga, badan kalau disitu tidak bisa kemudian menggunakan pendekatan lain, misalnya ke DPR untuk diselesaikan. Kalau kayak gini berat," imbuh Daeng.

Dirinya juga khawatir BPOM rentan dimasuki kepentingan politis jika hal semacam ini terus dibiarkan. Sehingga, seluruh pekerjaan badan tersebut harusnya dijaga sesuai dengan prosedur keilmuan.

"Jangan sampai prosedur ini ada intervensi. Termasuk ada dukung-dukungan tokoh. Ini kalau di dunia keilmuan enggak ada dasar ilmunya," jelas Daeng.

Apalagi, dia menganggap, keputusan apapun yang diambil oleh para anggota parlemen itu adalah keputusan politis.

"Meski ada pakarnya, tapi keputusan terakhir tetap nilainya keputusan politik," ujarnya.