Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi IX DPR Melkiades Laka Lena mengaku bingung dengan sikap Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait dengan vaksin Nusantara. Menurutnya, memang tidak ada komunikasi yang baik antara peneliti vaksin gagasan mantan Menkes Terawan Agus Putranto itu dengan BPOM.

Hal itu diketahui saat Komisi IX DPR mengunjungi RSUP Dr. Kariadi Semarang beberapa waktu lalu.

"Kesan kami memang peneliti dan BPOM tidak harmonis komunikasinya. Karena menurut peneliti sudah menyampaikan informasi yang diminta, menurut BPOM belum sesuai yang mereka harap dan rekomendasikan," ujar Melki dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk Siapa Suka Vaksin Nusantara secara virtual, Sabtu, 17 April. 

Melki mengatakan, pihaknya menjadi saksi penyerahan data dari peneliti ke BPOM. Lantaran sudah ada penyerahan tersebut maka dilanjutkan pembicaraan ke komisi IX DPR dengan mengundang semua pihak baik BPOM, peneliti, dan Terawan  sebagai inisiator, serta para ahli yang objektif. 

Forum di DPR itu adalah diskusi yang menurut kami akademik ilmiah. Kami dapat informasi terang benderang bahwa dari uji klinis tahap 1 itu ternyata didapatkan aspek keamanan yang bagus. Dari berbagai macam informasi diperoleh tidak didapatkan relawan mengalami dampak membahayakan dari vaksin dendritik ini," jelas politikus Golkar itu.

Pada kesimpulannya, kata Melki, tidak ada alasan apapun untuk tidak bisa melanjutkan uji klinis tahap 2. Semua pihak yang terlibat dalam rapat  bersepakat seminggu kemudian ada perbaikan untuk memenuhi rekomendasi BPOM, dan semestinya sudah bisa diberikan uji klinis tahap 2 kepada vaksin Nusantara. 

"Karena 10 Maret kami diskusi, 17 Maret mestinya sudah diberikan itu kesepakatan rapat dan itu mengikat. Nah BPOM ini aneh, kok untuk diuji klinis tahap 2 tidak (diberikan,red). Kan bukan ke masyarakat bukan publik. Kalau untuk jutaan dosis okelah setuju tapi kaya gini ini relawan kok ditahan-tahan lagi. Alasannya pra klinik belum dilakukan, tapi dijawab oleh peneliti bahwa itu sudah dilakukan di Amerika dan datanya ada," bebernya. 

"Kemudian ada alasan lagi, orang asing yang ikut proses, yang lakukan hanya orang asing sementara orang Indonesia tidak melakukan dengan baik. Itu kan menghina bangsa, memang peneliti kita ini orang bego apa?" sambung Melki. 

Melki mengingatkan, bahwa dalam kesimpulan rapat ada aturan bersifat yang mengikat. Ada konsekuensi yang harus dilaksanakan sebagai bagian dari rapat yang mendapat rekomendasi. 

"Tapi kami tidak memakai kewenangan tersebut, sebenarnya secara hukum sudah cukup bagi BPOM. Karena seluruh fraksi menyepakati tanpa kecuali bahkan semua orang per orang siap jadi relawan. Kalau ada fraksi berbeda itu setelahnya. Intinya setuju vaksin Nusantara diteruskan bersama vaksin Merah Putih yang dipelopori pak Amin Subandrio dkk," kata legislator Nusa Tenggara Timur itu.

Melki pun menjelaskan, bahwa tujuan anggota dewan berbondong-bondong ke RSPAD Gatot Soebroto adalah untuk melihat lagi proses penelitian yang disarankan BPOM sendiri.

"Peneliti ikut saran dari BPOM sebenarnya, kan BPOM katakan uji klinisnya di RSPAD nah kemudian dikembalikan ke rumah induknya. Ada catatan juga dari BPOM sudah disempurnakan, apa yang disampaikan kolonel Jonny kemarin di RSPAD tentu akan memenuhi kaidah mengikuti ketentuan BPOM dan WHO. Dengan semua catatan ini tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak mengikuti uji klinis tahap 2. Jadi Komisi IX mendorong secara resmi," papar Melki.

Terkait anggapan bahwa vaksin Nusantara ada bau politik, Melki menilai justru BPOM yang sekarang sudah bermain politik dengan mengumpulkan tokoh untuk menyatakan dukungan bagi lembaganya.

"Sekarang BPOM sudah main politik kami tahu siapa yang menggerakkan itu, informasi sudah masuk ke kami. Kemudian sekarang BPOM mengumpulkan sejumlah tokoh dan menyatakan save BPOM dsb. Ini enggak bener ini, lembaga negara mengumpulkan tokoh hanya untuk mendukung dia membela hal yang kita bongkar," kata Melki geram.

Melki justru membongkar bahwa BPOM sudah membohongi publik dengan memberikan data penelitian yang menyimpang dari fakta sebenarnya.

Sebelumnya, BPOM menjelaskan vaksin Nusantara belum layak mendapat uji klinis tahap 2. Dalam temuan BPOM sebanyak 71,4 persen relawan uji klinis mengalami Kejadian Tak Diinginkan, berupa nyeri otot hingga gatal-gatal. 

Selain itu, ada sejumlah syarat yang juga belum dipenuhi. Diantaranya adalah cara uji klinik yang baik, proof of concept, good laboratory practice dan cara pembuatan obat yang baik.

Akan tetapi menurut Melki, data tersebut sebetulnya berbeda dengan hasil penelitian yang diterima BPOM dari para peneliti.

"BPOM jelaskan 71 persen berbahaya, loh kan sudah dijelaskan di DPR enggak ada masalah, kok kemudian bermasalah? Ini yang saya cek lagi ke Undip, mereka nelongso, kok bisa BPOM menipu publik. Data yang kami berikan A dibilang B, dan publik jadi khawatir dengan vaksin Nusantara. Sehingga saya sampaikan ini bisa masuk kategori pembohongan publik," tegasnya.

"Kepala BPOM membohongi publik dengan membelokkan data hasil penelitian. Ini yang bikin kisruh kepala BPOM bukan DPR," kata Melki kembali menegaskan.

Karenanya, Melki meminta BPOM menghormati hasil rapat di komisi IX DPR pada saat rapat bersama dengan pihak-pihak terkait. 

"Jalankan! jangan lagi diputar-putar bikin opini. Kericuhan ini ya karena BPOM enggak konsisten," tandasnya.