JAKARTA - Vaksin Nusantara semakin menuai polemik pasca sejumlah tokoh politik dan pejabat beramai-ramai menjadi relawan uji klinis tahap II di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu, 15 April. Dalam tahap ini, relawan vaksin akan diambil sampel darahnya dan diolah selama 7 hari untuk kemudian disuntikkan kembali ke dalam tubuh.
Padahal vaksin gagasan mantan Menteri Kesehatan, dr. Terawan Agus Putranto itu masih di tengah pro dan kontra lantaran belum mendapat restu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk dilanjutkan.
Fenomena ini tentu saja menarik perhatian, mengapa para tokoh Tanah Air justru rela 'berdarah-darah' demi menggolkan vaksin yang diklaim sebagai karya anak bangsa itu?
Wakil ketua DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Sufmi Dasco Ahmad, mengungkapkan bersedia untuk disuntik vaksin Nusantara sebagai upaya mendukung produksi vaksin dalam negeri, terutama produksi anak bangsa.
"Kita tahu bahwa vaksin-vaksin dari luar ini juga masuknya enggak gampang ke Indonesia, apalagi saat sekarang ini embargo vaksin dilakukan oleh negara negara penghasil vaksin. Karena itu kita harus support vaksin yang ada," ungkap ketua harian Partai Gerindra itu, Rabu, 15 April.
BACA JUGA:
Menurutnya, vaksin Nusantara akan menambah kekayaan vaksin produksi dalam negeri sehingga bisa membantu pemerintah menekan laju COVID-19 di Tanah Air. "Saya pikir ini tidak perlu diperdebatkan karena antara vaksin satu dengan vaksin lain itu tidak ada masalah," jelas Dasco.
Senada dengan Dasco, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melkiades Laka Lena menuturkan, kedatangannya menjadi relawan adalah bentuk dukungan terhadap vaksin Nusantara sebagai produk dalam negeri. Terlebih, menipisnya stok vaksin lantaran adanya embargo dari negara produsen.
"Kalau memilih untuk biar negara ini bisa berputar ekonominya, bisa segera sehat apalagi sekarang vaksin lagi susah, India lagi embargo. Kita ini jumlah vaksin kurang," kata Melki.
Selain itu, target vaksinasi nasional juga tersendat lantaran kurangnya pasokan vaksin. Apalagi, kualitas vaksin dari luar negeri efikasinya rendah sehingga diyakini vaksin besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto itu bisa membawa harapan baru.
"Target vaksinasi kita susah bergerak karena vaksinnya terbatas. Kualitas vaksin juga China sendiri mengatakan efikasi Sinovac-nya rendah. Itu yang punya produk. Astrazeneca yang keamanannya kemudian pro dan dan kontra di luar negeri. Jadi mumpung ada produksi seperti ini kita dukung, dalam negeri pula," kata legislator asal NTT itu.
Uniknya, meski berbeda dengan sikap kebanyakan anggota Fraksi PDIP di DPR, Adian Napitupulu justru ikut menyambangi RSPAD. Adian mengaku datang atas nama pribadi. Ia menilai vaksin Nusantara bisa berkhasiat bagi orang dengan komorbid penyakit jantung sepertinya.
"Saya enggak mau masuk wilayah pro-kontra. Saya harus mencari obat untuk orang yang punya penyakit jantung seperti saya," ujar Adian di RSPAD, Jakarta, Rabu, 14 April.
Anggota Komisi VI itu juga beralasan, jika vaksin yang ada saat ini seperti Sinovac, AstraZeneca, dan Johnson and Johnson tidak bisa dipakai untuk orang dengan riwayat penyakit jantung.
"Sinovac berapa orang sudah meninggal karena punya penyakit jantung. AstraZeneca dampaknya pengentalan darah dan itu musuhnya penyakit jantung. Johnson and Johnson dampaknya pengentalan darah. Terus saya pakai obat apa?" kata mantan aktivis '98 itu.
Tak hanya anggota dewan, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo turut hadir menjalani uji klinis vaksin Nusantara diwaktu yang sama.
Gatot mengatakan, kesediaannya disuntik vaksin Nusantara karena sangat bangga dan mencintai hasil karya putra Indonesia yang terbaik.
Bahkan, dia yang sudah diambil sampel darahnya itu mengatakan akan datang bersama keluarganya dua pekan mendatang untuk kembali disuntikkan vaksin.
"Diambil darah, nanti tanggal 8 dari hasil darah itu disuntikkan untuk diberikan semacam vaksin tapi untuk uji klinik," katanya.
Menurut Gatot meski belum mengantongi izin resmi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), namun dia tetap mendukung vaksin pengembangan Vaksin Nusantara.
"Apapun saya lakukan untuk bangsa dan negara ini. Saya tidak tahu ada izin atau tidak, tetapi saya ditawari jadi uji klinik saya siap," tegas Gatot.
Dia meyakini vaksin Nusantara lebih baik dari vaksin-vaksin yang ada dan berguna untuk bangsa dan negara.
"Mudah-mudahan ini yang terbaik, dan ingat kata-kata saya, 2 tahun yang akan datang seluruh dunia pasti menggunakan cara seperti ini, mudah-mudahan benar," tuturnya.
Yang lebih mencengangkan lagi, Ketua Fraksi PAN DPR RI, Saleh Partaonan Daulay, yang sudah dua kali disuntikkan vaksin Sinovac pun juga ikut menjadi relawan.
Anggota Komisi IX DPR itu mengaku memiliki sejumlah alasan mengapa akhirnya bersedia divaksin menggunakan vaksin Nusantara. Pertama, dirinya sudah berdiskusi dengan para penelitinya, baik peneliti asal Indonesia, maupun peneliti asal AS.
"Saya mendapatkan penjelasan utuh terkait vaksin Nusantara ini. Dan saya percaya bahwa vaksinasi ini sangat baik dan efektif dalam rangka meningkatkan imunitas," jelas anggota DPR yang sudah disuntikkan dua kali vaksin Sinovac itu.
Kedua, dia juga sudah berbicara dengan orang-orang yang pernah divaksin dengan vaksin Nusantara. Menurut mereka, vaksin ini dapat dikatakan tidak memiliki efek samping sementara efektivitasnya sangat baik.
"Setelah divaksin, mereka mengukur tingkat imunitas mereka. Terbukti, tingkat imunitas mereka naik cukup tinggi. Mereka lalu merekomendasikan vaksin ini kepada orang lain, termasuk kepada saya," ungkap legislator dapil Sumatera Utara II itu.
Ketiga, Saleh melihat bahwa vaksin Nusantara sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Apalagi, presiden Jokowi sudah meminta agar Indonesia mengutamakan produk dalam negeri.
"Nah, vaksin nusantara ini harus menjadi salah satu contoh produk dalam negeri yang perlu mendapatkan dukungan dan perhatian pemerintah," kata politkus PAN itu.
Keempat, vaksinasi dengan vaksin Nusantara ini dilakukan terbatas. Karena itu, tidak melanggar ketentuan apa pun. Saleh berharap dengan melakukan vaksinasi ini, BPOM akan lebih mudah memberikan berbagai macam izin yang dibutuhkan.
"Kita berani jadi contoh. Berani untuk divaksin lebih awal. Saya melihat, para peneliti dan dokter-dokter yang bertugas semuanya ikhlas. Tidak ada muatan politik sedikit pun," kata wakil ketua MKD DPR itu.
Kelima, dirinya meyakini bahwa kedaulatan dan kemandirian Indonesia dapat terjamin dalam bidang kesehatan dan pengobatan.
"Saya yakin, momentum COVID-19 bisa menjadi pintu masuk. Sekarang kan kita masih tergantung negara lain. Ketika diembargo, program vaksinasi kita langsung terganggu. Setidaknya, mengganggu jadwal yang sudah ditetapkan sebelumnya. Disitu pentingnya kemandirian dan kedaulatan tersebut," tandas Saleh Daulay.
Lalu benarkah fenomena tokoh yang Beramai-ramai Vaksin Nusantara adalah sinyal pemberontakan terhadap pemerintah?
"Akhirnya ada dua vaksin, yakni vaksin oligarki dan vaksin oposisi. Karena terlihat kendati secara teknis agak problematis karena menyuntikkan kembali darah yang diambil dari plasma kemudian dimasukkan kembali untuk memancing imunitas itu sifatnya individual tidak mungkin diproduksi massal karena perbedaan plasma darah," ujar pengamat politik Rocky Gerung dalam wawancara di salah satu channel YouTube, Kamis, 15 April.
Menurutnya, aksi sejumlah tokoh politik tersebut merupakan sebuah pemberontakan untuk mendukung vaksin gagasan mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto itu.
"Semacam ada pemberontakan diam-diam untuk tidak menerima vaksin lain selain Nusantara. Itu sinyal yang ditunjukkan bahwa kita perlu mandiri dalam riset vaksin," kata Rocky.
"Tetapi ada semacam perlawanan politik juga karena tokoh-tokoh itu pamer bahwa kita vaksin Nusantara," sambungnya.
Rocky mengamini jika kesukarelaan tokoh-tokoh tersebut lantaran China mengakui bahwa efikasi vaksin Sinovac hanya berkisar 40 persen saja. Kemudian vaksin-vaksin lain yang juga mempunya masalah karena ketidaksesuaian dosis dan kondisi psikobiologis orang sehingga menimbulkan beberapa kejadian.
"Memang kita sebetulnya harus meraba-raba tabiat COVID-19 ini seperti apa. Nah kita belum riset itu," katanya.
Menurut Rocky, pemerintah terlalu tinggi mematok angka 70 persen untuk semua warga Indonesia disuntikkan vaksin agar terbentuk herd immunity. Padahal, belum tentu vaksin yang tersedia bisa mencukupi persentase keharusan vaksinasi secara nasional.
"Mungkin 30 persen aja kan cukup karena kita sendiri tidak tahu gimana tubuh kita, imunitas kita. Jadi risetnya lama mungkin sebenarnya 20 persen disuntik sudah selesai itu, tapi pemerintah selalu bisa sugesti bahwa semua harus suntik minimal 70-80 persen," jelasnya.
"Sekarang ada problem jumlah vaksin berkurang lalu bagaimana ceritanya itu? Paling satu bulan lagi habis, berarti yang disuntikkan sekali enggak ada gunanya. Itulah nanti masuk dalam jebakan putaran kedua bahkan putaran ketiga vaksin," tambah Rocky.
Rocky menilai, mbalelo-nya tokoh politik untuk menerima vaksin Nusantara adalah sinyal bahwa mereka tidak percaya lagi dengan kebijakan pemerintah.
"Jadi dia mau bilang setop mengonsumsi vaksinasi (impor, red) tapi pakai vaksin Nusantara. Tapi kan enggak bilang ke Pers. Ini lah vaksin dibalut politik," katanya.
Rocky mengakui ada dimensi politik dalam kesediaan mendukung vaksin Nusantara. Salah satunya ada semacam kejengkelan kepada pemerintah karena selalu ingin memonopoli informasi, memonopoli transaksi, dan memonopoli diplomasi.
"Sekarang ada politik mbalelo melalui vaksinasi. Jadi hidup vaksin oposisi!" tandas Rocky Gerung.
Juru bicara Satgas COVID-19 Prof Wiku Adisasmito menanggapi polemik berlanjutnya penelitian vaksin Nusantara ke uji klinis tahap II, meski belum mendapatkan izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Wiku mengimbau, agar para peneliti vaksin Nusantara dapat menjalin koordinasi dan komunikasi yang baik dengan BPOM guna menyelesaikan persoalan vaksin yang digagas dr. Terawan Putranto itu.
"Diharapkan tim pengembang vaksin Nusantara dapat berkoordinasi dengan baik dengan BPOM agar isu yang ada terkait vaksin ini dapat segera terselesaikan," ujar Wiku saat konferensi pers secara virtual, Kamis, 15 April.
Wiku juga meminta peneliti vaksin Nusantara untuk menjalani aturan yang ditetapkan BPOM. Sebab sebagaimana diketahui, vaksin Nusantara adalah jenis vaksin yang dikembangkan di Amerika dan diujicobakan di Indonesia.
Menurut Wiku, tak ada vaksin COVID-19 yang bisa digunakan publik atau masyarakat umum tanpa pengawasan BPOM. Pasalnya, peran BPOM dalam pengawasan keamanan hingga efikasi vaksin COVID-19 menjadi acuan utama dalam vaksinasi COVID-19.
"Pada prinsipnya semua vaksin harus mendapat izin dari BPOM terutama soal aspek keamanan, efikasi, dan kelayakan. Selama memenuhi kriteria, pemerintah akan memberikan dukungan," kata Wiku.
Bagaimana tanggapan BPOM?
Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), data interim uji klinis fase II vaksin Nusantara belum cukup menjadi dasar agar penelitian ini berlanjut ke tahap berikutnya.
Kepala BPOM, Penny Lukito, mengatakan, timnya mendapat ketidakcukupan keamanan dan kemampuan vaksin dalam membentuk antibodi serta pembuktian mutu dari produk vaksin dendritik.
Karena itu, Penny menegaskan untuk mendapatkan dasar penelitian yang jelas, diperlukan uji praklinis sebagai tahap awal. "Kegiatan penelitian praklinis sebaiknya dilakukan pendampingan oleh Kemenristek/BRIN sesuai dengan kesepakatan pada rapat dengar pendapat DPR," kata Penny.
Penny menjelaskan, vaksin Nusantara ini memang dikembangkan dengan metode berbasis sel dendritik untuk pengobatan infeksi COVID-19. Vaksin mengandung tiga bahan utama, yakni sel dendritik yang diperoleh dari masing-masing orang, antigen SARS-CoV-2 Spike Protein, serta granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GMCSF) alias sitokin atau protein kecil yang akan merangsang sel. Dua bahan terakhir diproduksi oleh dua perusahaan Amerika Serikat.
BPOM menemukan data pengukuran antibodi, alias antibodi imunoglobulin (IgG), pada studi praklinis berubah-ubah. Respons antibodi yang dihasilkan juga tidak konsisten dengan dosis vaksin yang diberikan.
Selain itu respons antibodi IgG juga terlihat meningkat hanya pada kelompok hewan yang diberi kombinasi antara vaksin dendritik dan GMCSF. Kondisi ini, kata BPOM, menimbulkan asumsi bahwa peningkatan antibodi pada kelompok hewan bukan karena vaksin dendritik, tapi karena pemberian GMCSF.
"Namun hal ini belum dapat dipastikan, mengingat dalam studi praklinis ini tidak ada pembandingan dengan GMCSF saja," kata Kepala BPOM Penny Lukito.