JAKARTA - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman meminta pemerintah bersikap tegas terhadap polemik Vaksin Nusantara. Apalagi, riset vaksin ini tak berpedoman pada kaidah ilmiah.
Hal ini disampaikannya untuk menanggapi uji klinik tahap kedua vaksin gagasan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto yang dilakukan di RSPAD Gatot Subroto Jakarta dan diikuti oleh sejumlah anggota DPR RI.
"Saya mengimbau pemerintah tidak boleh membiarkan hal seperti ini walaupun yang ada di belakangnya adalah mantan pejabat publik. Karena kalau salah secara metode ilmiah harus diluruskan," kata Dicky saat dihubungi VOI, Rabu, 14 April.
Dia juga menilai, Vaksin Nusantara ini justru terkesan ditarik ke arah politik dan birokrasi. Penyebabnya, sel dendritik yang terkandung dalam vaksin tersebut sebenarnya masih dalam kajian dan uji preklinisnya juga terus dilakukan karena belum ada data atau hasil yang meyakinkan.
"Jadi kalau bicara sekarang, pengujiannya di indonesia menurut saya lebih didorong ke arah politik. ... Arahnya, ke arah dukungan birokrasi dan politik saja," tegasnya.
Dicky juga mengkritisi adanya anggota DPR RI yang sudah mendapatkan vaksin COVID-19 sebanyak dua dosis namun tetap ingin ikut dalam uji klinis tahap kedua Vaksin Nusantara. Dia menyebut, hal semacam ini tidak memenuhi etika riset.
"Saya enggak tahu ini dari mana rujukannya karena tidak memenuhi etika," ungkapnya.
"Selain itu dari sisi metodelogi juga enggak ada, siapa epidemiolog yang terlibat dalam riset itu. Belum apa-apa sudah gagal itu, enggak bisa," imbuh Dicky.
Dia menjelaskan uji klinis fase pertama dan kedua sebenarnya sudah jelas tak boleh diikuti oleh mereka yang telah mendapatkan vaksin terhadap satu virus yang sama. "Jadi relawan itu enggak boleh. Itu sudah enggak masuk kriteria inklusinya dan ini salah kaprah," ujarnya.
Lebih lanjut, Dicky juga menilai, tak terpenuhinya kaidah ilmiah ini juga bisa membahayakan ke depannya karena tak terjaminnya keamanan vaksin yang sedang diuji.
"Jadi jangan dianggap juga pada tahapan itu tidak ada potensi kerawanan seperti infeksi, misalnya. Itu kan sesuatu yang dikeluarkan dari tubuh dimasukkan lagi ke tubuh. Itu luar biasa, makanya mahal, rumit dan punya potensi tertentu seperti infeksi dan lainnya," katanya.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, Wakil Ketua Komisi IX DPR Melki Laka Lena mengatakan, dirinya dan sejumlah anggota dewan akan menerima suntik vaksin Nusantara dalam uji klinis fase II di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, hari ini.
"Besok (Rabu) itu saya dan anggota Komisi IX sebagian dan komisi lain, kami disuntik vaksin Nusantara divaksin di RSPAD besok pagi. Pimpinan DPR kemungkinkan ada yang ikut, barusan saya bicara dengan Pak Terawan (pelopor vaksin Nusantara)," kata Melki, Selasa, 13 April.
Melki menambahkan, penelitian vaksin Nusantara terhenti karena belum mendapatkan izin uji klinis fase II oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Menurut dia, para peneliti vaksin Nusantara telah menyesuaikan pengembangan vaksin dengan rekomendasi dari BPOM.
"Dan sudah peneliti lakukan penyesuaian, sudah pernah diterapkan perbaikan seperti yang dicatatkan BPOM dan karena BPOM hanya memberikan semacam catatan rekomendasi, dan penelitiannya tetap berjalan," ungkapnya.