JAKARTA - Di bawah tenda-tenda yang basah kuyup oleh hujan dan dengan anak-anak yang menggigil karena dingin yang menggigit, para pengungsi Gaza menyambut tahun baru.
Setelah 15 bulan genosida Israel yang tak henti-hentinya dan kehancuran yang meluas, para pengungsi menghadapi salah satu musim dingin terberat yang pernah ada.
Bukan kembang api dan suara terompet, pengungsi Gaza menyambut pergantian tahu dengan serangan udara Israel serta hujan deras.
Hujan deras di malam tahun baru mengubah kamp-kamp pengungsian Gaza menjadi rawa-rawa berlumpur. Banjir tersebut membanjiri lebih dari 1.500 tenda, menurut Direktorat Pertahanan Sipil Gaza, dikutip dari WAFA 1 Januari.
Cuaca dingin yang menyergap pengungsi sejauh ini telah menewaskan enam bayi, dengan PBB memperingatkan jumlah korban tewas dapat meningkat, saat banyak pengungsi Gaza tidak memiliki akses ke kebutuhan pokok musim dingin.
"Saya merasa seperti tenggelam dalam lautan keputusasaan," kata Umm Thaer Al-Masri, yang meninggalkan rumahnya di Beit Lahia menuju kamp pengungsian di Kota Gaza.
Berbicara kepada Anadolu Agency, ia menggambarkan tendanya yang banjir dan kondisi mengerikan yang ia dan putranya yang terluka alami setiap hari.
"Anak-anak meninggal karena kedinginan," lirihnya.
"Kami tidak memiliki cukup selimut, pakaian, atau bahkan tempat tidur yang kering. Kami meninggalkan segalanya saat kami melarikan diri di bawah bom," tambahnya.
"Kami adalah orang-orang yang mencintai kehidupan, kedamaian, dan keamanan. Kami tidak menginginkan perang. Hentikan genosida terhadap kami," serunya.
Sementara, bagi Ahmed Al-Sous, pengungsi dari Beit Lahia, hujan baru-baru ini mengubah tempat berlindung yang seharusnya berupa sekolah yang diubah menjadi tempat berteduh, berubah menjadi mimpi buruk.
"Air merembes ke dalam ruang kelas, membasahi selimut dan kasur kami," katanya.
"Kami menghabiskan sepanjang malam mencoba menahan air, tetapi sia-sia. Sekarang kami tidak punya apa-apa lagi yang kering," tambahnya.
BACA JUGA:
Banyak keluarga, seperti keluarga Al-Sous, tidak punya alternatif. Anak-anak terpaksa mengenakan pakaian basah selama berjam-jam, yang menyebabkan penyakit pernapasan dan masalah kesehatan lainnya.
Seorang ibu terlantar, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan anak-anaknya tidak dapat lagi menahan suhu dingin tanpa pakaian atau selimut musim dingin yang memadai.
"Kami tidak butuh makanan atau air saat ini," katanya.
"Kami hanya butuh perang segera berakhir," serunya.