Bagikan:

JAKARTA - Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim menyampaikan stigma Crazy Rich PIK dimanfaatkan dalam perkara dugaan korupsi tata niaga timah untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum.

"Perkara ini memanfaatkan hiperbola dunia showbiz agar muncul kenyinyiran, bahkan kebencian masyarakat terhadap stigma Crazy Rich PIK untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum," ucap Helena dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dilansir ANTARA, Kamis, 12 Desember.

Helena mengatakan seorang crazy rich yang menjadi terdakwa korupsi, berikut dengan citra orang tersebut kaya dari uang rakyat, menjadi drama favorit para warganet.

Drama tersebut, kata dia, membuat Helena merasa menuntut keadilan memberi luka yang dalam untuk dirinya dan keluarganya dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.

Padahal, Helena mengaku sempat bangga dengan jargon Crazy Rich PIK yang disematkan pada dirinya.

Menurut dia, pemberian julukan tersebut merupakan apresiasi dari warganet atas hasil kerja kerasnya.

"Namun, ternyata, Yang Mulia, harga sebuah popularitas itu sangat mahal. Mahal sekali. Saya membayarnya dengan harga diri saya," ucap Helena.

Pada hari Kamis (5/12), jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Ardito Muwardi dalam Pengadilan Tipikor Jakarta menuntut Helena untuk dijatuhi pidana selama 8 tahun penjara terkait dengan perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

Selain pidana penjara, JPU turut menuntut agar majelis hakim menghukum Helena dengan denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 1 tahun.

Helena juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan memperhitungkan aset yang telah dilakukan penyitaan.

Dalam kasus korupsi timah, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.

Uang korupsi itu diduga berasal dari biaya pengamanan alat processing atau pengolahan untuk penglogaman timah sebesar 500 dolar AS hingga 750 dolar AS per ton, yang seolah-olah merupakan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) empat smelter swasta dari hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

Keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.

Atas perbuatannya, Helena didakwa merugikan negara senilai total Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.