JAKARTA - Otoritas Haiti akan mengerahkan pasukan untuk memburu mereka yang bertanggung jawab atas pembantaian warga, saat jumlah korban tewas terus bertambah.
Sekitar 180 orang tewas selama akhir pekan di wilayah Cite Soleil, Haiti, kata Kantor Perdana Menteri Haiti pada Hari Senin, setelah serangan yang menurut organisasi kemanusiaan diperintahkan oleh seorang pemimpin geng yang menduga anaknya telah dibuat sakit menggunakan ilmu sihir.
"Garis merah telah dilanggar," kata kantor tersebut dalam sebuah pernyataan, seraya menambahkan mereka akan "memobilisasi semua pasukan untuk melacak dan memusnahkan" mereka yang bertanggung jawab, termasuk pemimpin geng Wharf Jeremie, Monel "Mikano" Felix, yang dituduh merencanakan serangan tersebut, melansir Reuters 10 Desember.
Dikatakan para korban sebagian besar adalah orang tua.
Jaringan Pertahanan Hak Asasi Manusia Nasional (RNDDH), organisasi di Haiti yang memantau lembaga-lembaga negara dan mempromosikan pendidikan hak asasi manusia mengatakan pada Hari Minggu, sedikitnya 110 orang, semuanya berusia di atas 60 tahun, telah tewas di Cite Soleil selama akhir pekan.
Kemudian disebutkan jumlah korban tewas bisa lebih tinggi dan mengutip saksi mata yang mengatakan, "mayat-mayat yang dimutilasi dibakar di jalan-jalan, termasuk beberapa orang muda yang terbunuh saat berusaha menyelamatkan warga."
RNDDH mengatakan, Felix memerintahkan kekerasan tersebut setelah anaknya jatuh sakit, dan setelah meminta nasihat dari seorang pendeta voodoo yang menuduh orang-orang tua di daerah tersebut menyakiti anak tersebut melalui ilmu sihir. Kelompok tersebut mengatakan anak Felix telah meninggal pada Sabtu sore.
Reuters tidak dapat memverifikasi secara independen kejadian-kejadian yang diuraikan oleh RNDDH. Felix sendiri tidak segera mengomentari tuduhan tersebut.
Cite Soleil, daerah kumuh padat penduduk di dekat pelabuhan ibu kota Port-au-Prince, merupakan salah satu daerah termiskin dan paling keras di Haiti. Kontrol geng yang ketat, termasuk pembatasan penggunaan telepon seluler, telah membatasi kemampuan warga untuk berbagi informasi tentang pembantaian tersebut.
Sementara itu, Pemerintah Haiti, yang terpecah belah oleh pertikaian politik, telah berjuang untuk menahan kekuatan geng yang semakin besar di dalam dan di sekitar ibu kota. Kelompok bersenjata dituduh melakukan pembunuhan tanpa pandang bulu, pemerkosaan massal, penculikan untuk tebusan dan memicu kekurangan pangan yang parah.
BACA JUGA:
Pada Bulan Oktober, geng Gran Grif mengaku bertanggung jawab atas pembunuhan sedikitnya 115 orang di Pont-Sonde, sebuah kota di wilayah Artibonite, lumbung pangan Haiti. Mereka mengatakan, pembunuhan tersebut merupakan pembalasan atas warga yang membantu kelompok bela diri menghalangi operasi jalan tol mereka.
Terpisah, misi keamanan yang didukung PBB diminta oleh Haiti pada tahun 2022 dan disetujui setahun kemudian, tetapi sejauh ini baru dikerahkan sebagian dan masih sangat kekurangan sumber daya.
Para pemimpin Haiti telah menyerukan agar misi Dukungan Keamanan Multinasional yang dipimpin Kenya diubah menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB untuk memastikan pasokan yang lebih baik. Tetapi, rencana tersebut terhenti di tengah penentangan dari Tiongkok dan Rusia di Dewan Keamanan.