JAKARTA - Salah seorang dari tiga terpidana perkara pungutan liar (pungli) dana bantuan untuk rehabilitasi masjid pascagempa Lombok 2018 lalu menyerahkan uang Rp200 juta ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Kepala Kejari Mataram Yusuf mengatakan, penyerahan uang berasal dari terpidana Silmi melalui pihak keluarga dengan pendampingan penasihat hukum.
"Ya jadi memang benar ada penyerahan uang Rp200 juta dari terpidana Silmi. Uang itu untuk membayar pidana denda sesuai perintah dalam putusan inkrah yang bersangkutan," kata Yusuf di Mataram dilansir Antara, Selasa, 13 April.
Dengan adanya pembayaran pidana denda, jelas Yusuf, terpidana Silmi tidak lagi dibebankan untuk menjalani tambahan kurungan selama enam bulan. Kurungan tersebut sesuai dengan subsider yang ada pada vonis pidana dendanya.
"Karena denda sudah dibayarkan semuanya, Silmi hanya menjalankan pidana pokoknya saja. Dia tidak lagi dibebankan untuk menjalani subsider," ucapnya.
BACA JUGA:
Terpidana Silmi terseret dalam perkara ini ketika masih menjabat Kasubbag Organisasi dan Tata Laksana (Ortala) dan Kepegawaian Kantor Wilayah Kementerian Agama NTB.
Dalam putusan kasasinya, terpidana Silmi terbukti sebagai otak dari tindakan pungli dana bantuan rehabilitasi masjid pascagempa Lombok di Tahun 2018.
Perannya terbukti memerintahkan Ikbaludin, staf TU Kemenag Lombok Barat dan lalu Basuki Rahman, staf Kantor Urusan Agama (KUA) Gunung Sari, untuk melakukan penarikan ke sejumlah masjid penerima bantuan.
Dengan perintah demikian, Basuki sebagai eksekutor lapangan kemudian terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) Polresta Mataram. Dia terbukti memotong jatah bantuan hingga persentasenya mencapai 30 persen.
Dari penarikan tersebut, Lalu Basuki memiliki hubungan rantai dengan terpidana Silmi melalui penerimaan setoran yang berasal dari terpidana Ikbaludin. Dalam dua periode penerimaannya, terpidana Silmi terbukti mengantongi uang hasil pungli senilai Rp55 juta.
Karena itu, terpidana Silmi dalam putusan kasasinya yang kini telah berkekuatan hukum tetap dijatuhi pidana hukuman penjara selama empat tahun dan denda Rp200 juta subsider enam bulan kurungan.