JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap temuannya terkait pengelolaan uang pokok pikiran (pokir) DPRD Provinsi Nusa Tenggara Barat. Diduga terjadi penyalahgunaan yang membuat masyarakat setempat tidak bisa menikmati manfaatnya.
Hal ini disampaikan Kepala Satgas Korsup Wilayah V KPK Dian Patria saat menyosialisasikan pencegahan korupsi terkait pengelolaan anggaran pokok pikiran di Mataram, NTB, Kamis, 21 November. Temuan menyebut uang pokir itu justru disalahgunakan bahkan dialirkan ke yayasan fiktif.
"Pokok pikiran DPRD dirancang untuk mengakomodasi aspirasi masyarakat. Namun dalam praktiknya, kami menemukan sejumlah pelanggaran, seperti hibah uang yang tidak jelas dasarnya, yayasan fiktif, dan indikasi adanya fee atau praktik ijon," kata Dian dalam keterangan resmi lembaga yang dikutip Senin, 25 November.
Kondisi ini disebut Dian telah menyimpang dari Permendagri Nomor 86 Tahun 2017. "Juga membuka celah korupsi," tegasnya.
Kemudian, KPK juga menemukan penyimpangan pokir di DPRD Kota Mataram. Dian memerinci temuan ini di antaranya berkaitan pengajuan yang tidak sesuai prosedur, perubahan setelah pembahasan anggaran hingga penyaluran hibah uang kepada yayasan yang tidak jelas legalitasnya.
"Bahkan ada indikasi milik anggota DPRD sendiri hingga tidak ada pertanggungjawaban yang sesuai fakta atas belanja hibah dan bantuan sosial," ungkap Dian.
Lebih lanjut, Dian menyebut temuan ini sebenarnya kerap didapat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan, ada legislator di Kota Mataram yang memakai uang tersebut senilai Rp3 miliar.
Adapun anggaran pokir di DPRD Kota Mataram mencapai Rp92 miliar dan baru direalisasikan 50,1 persen atau Rp46 miliar. "Ada juga dapilnya di Kota Mataram tetapi pokirnya di Sumbawa. Ini kan indikasi fraud dan dugaan jual beli pokir," jelasnya.
Terhadap temuan ini, KPK mengingatkan para legislator di daerah NTB mengikuti aturan. "Seperti pokir harus berupa program yang dirancang oleh OPD sesuai dengan apsirasi masyarakat dan melarang penyisipan program yang tidak relevan ke dalam RKPD dan RPJMD," jelas Dian.
Selain itu, pengendalian konflik kepentingan harus dilakukan lewat mekanisme e-Planning pada Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD).
"Terakhir perlu adanya pengawasan dan investigasi lanjutan seperti melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) untuk menindaklanjuti temuan ketidaksesuaiann perencanaan dan penganggaran," kata Dian.
BACA JUGA:
"Hasil pemeriksaannya wajib disampaikan ke KPK paling lambat 15 Desember 2024," pungkasnya.