MATARAM - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) hingga saat ini masih menunggak utang kepada kontraktor yang belum bisa dibayarkan di tahun 2022 mencapai Rp500 miliar.
"Utang ini dari program murni 2022, yang mencakup reguler dan pokok pikiran (Pokir) DRPD NTB. Jumlahnya mencapai Rp500 miliar," kata Wakil Ketua DPRD NTB, Muzihir di Mataram dilansir ANTARA, Rabu, 14 September.
Muzihir menjelaskan seluruh hutang tersebut berasal dari program fisik yang sudah selesai dikerjakan. Total nilai program tersebut sebesar Rp500 miliar dan Rp350 miliar merupakan Pokir 65 anggota DPRD NTB.
"Pekerjaan sudah selesai 100 persen, cuma belum bisa dibayar," terangnya.
Menurut dia, mulanya eksekutif sudah bisa mulai membayarkan dengan mencicil di pekan ini. Namun masih ada dinamika yang terjadi antara eksekutif dan legislatif terkait berapa nominal yang harus dibayarkan. Sebab untuk membayar keseluruhan proyek murni 2022, kata Muzihir, sesuatu hal yang sangat mustahil.
"Ada yang minta harus dibayar 30 persen, ada yang 40 persen, itulah sedang dikaji. Mengingat jumlahnya tidak sedikit," ucap Muzihir.
Jika telah menemukan kesepakatan 30 persen atau sebesar Rp150 miliar maka Pemprov NTB sudah bisa membayar menyesuaikan dengan kas daerah. Skema pembayaran itu dihajatkan agar di 2023 Pemprov tidak lagi memiliki hutang, sehingga sisa hutang yang akan dibayarkan 70 persen itu bisa terbayarkan antara Januari atau Februari 2023.
"Makanya di KUA PPAS itu. Kalau pun ada pengakuan hutang nanti, besok pengakuan hutang itu tapi mulai dihitung atau dibayar dari sekarang," ujarnya.
"Kalau 30 persen itu Rp150 miliar. Sisanya Rp350 miliar akan dibayarkan Januari atau Februari tapi ndak perlu Perkada. Nanti di RAPBD 2023 masuk pengakuan hutang," sambung anggota DPRD NTB dari daerah pemilihan (Dapil) Kota Mataram ini.
Muzihir menegaskan dalam menyelesaikan masalah hutang ini, pihaknya menghindari pengalaman 2021 di mana semua hutang yang diselesaikan di 2022 itu tidak masuk dalam pengakuan hutang.
Akibatnya pembayaran dilakukan menggunakan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) Satu. Di mana hutang tahun 2021 yang dibayarkan tahun ini sebesar Rp165 miliar. Namun, akhirnya semua itu bisa diselesaikan.
Muzihir berharap dengan adanya skema pembayaran itu, semua pihak baik eksekutif maupun anggota DPRD NTB sendiri bisa merem diri. Mengurangi program masing-masing. Sebaliknya jika Pemprov masih saja bermegah-megahan dengan program sementara kondisi APBD minim tentu hal tersebut berpotensi memunculkan hutang kembali.
"Termasuk jatah Pokir 2023. Dewan harus legowo menerima kurang dari biasanya. Untuk semua kita (berkurang, red)," katanya.
Terpisah Ketua Komisi III DPRD NTB Bidang Keuangan dan Perbankan, TGH Mahalli Fikri mengaku skema pembayaran 30 persen di tahun ini dan 70 persen di 2023 sudah selesai disepakati eksekutif dan legislatif.
"Dari hasil komunikasi dengan TAPD termasuk BPKAD, semua bisa diselesaikan 70 persen di tahun 2023. Setelah di 2023 kita tidak lagi punya hutang," ucapnya.
Apa yang menjadi kesepakatan kedua belah pihak itu, Mahalli tetap optimis bisa berjalan. Asalkan Pemprov konsisten tidak lagi main ubah di tengah jalan yang mungkin disebabkan karena situasi dan kondisi.
Anggota DPRD NTB dari Dapil Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara itu mencontohkan ada perintah recofosing dari pusat di tengah jalan, namun karena mereka tidak berkewajiban meminta pendapat dewan, perubahan itu dilakukan langsung.
"Itu yang menyebabkan kondisi keuangan berubah-ubah. Kalau itu tidak terjadi lagi dan eksekutif konsisten dengan hasil kesepakatan bersama DPRD. Insya Allah Zul-Rohmi tidak akan meninggalkan hutang," kata Mahalli.
BACA JUGA:
Mahalli, adapun pembayaran yang 70 persen itu dilakukan dengan di adendum (diubah kembali) kontrak kerjasama dengan pihak ketiga di sejumlah program kegiatan.
"Setelah di APBD Perubahan ini minimal dibayarkan 30 persen. Sisanya di adendum dan dibebankan di APBD berikutnya," terangnya.
Di samping itu, pihaknya berharap baik Pemprov maupun legislatif bisa lebih cerdas. Eksekutif bisa lebih inovatif mencari sumber-sumber PAD tambahan. Hal ini untuk mengantisipasi kejadian-kejadian bencana alam yang tidak diinginkan.
Mahalli yakin jika urusan aset Pemprov NTB di Gili Trawangan bisa segera rampung maka aset tersebut bisa cepat menghasilkan PAD mencapai Rp150 Miliar. Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sejumlah aparat lainnya sedang membantu penyelesaian kerjasama.
Potensi pendapatan itu jika kerjasama dilakukan bersama masyarakat setempat tidak lagi dengan pihak ketiga.
"Kalau itu bisa disetujui, di sepakti tidak melanggar hukum, justru tidak akan ada masalah malah cepat kita hasilnya Rp150 miliar," ujarnya.
Berikutnya di internal dewan sendiri, Mahalli berharap khususnya kepada Bapemperda tidak lagi membuat Perda yang membutuhkan anggaran. Sebaliknya harus dibuat Perda yang bisa mendatangkan uang.
"Saya akan selalu katakan kepada Bapemperda jangan terlalu banyak Perda dibuat karena butuh uang tapi buat Perda bagaimana bisa menghasilkan uang," katanya.