Sebut Singapura 'Surganya Koruptor', Pimpinan KPK Diminta Kembalikan Karyoto ke Korps Bhayangkara
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada. (Foto: Dokumentasi Humas KPK RI)

Bagikan:

JAKARTA - Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Karyoto jadi sorotan karena menyebut Singapura sebagai 'surga koruptor'. Ujungnya, pimpinan komisi antirasuah diminta untuk memecat dan mengembalikan anak buahnya ini ke institusi Korps Bhayangkara.

"ICW mendesak agar pimpinan KPK segera memecat dan mengembalikan Inspektur Jenderal Karyoto ke institusi asalnya, yaitu kepolisian," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya yang diterima VOI, Senin, 12 April.

Desakan ini muncul setelah Karyoto menyatakan negeri singa tersebut menjadi surga koruptor. Adapun hal ini disampaikan Karyoto pada Selasa, 6 April lalu. 

Pernyataan ini keluar setelah anak buah Firli Bahuri ini disinggung soal tersangka kasus megakorupsi e-KTP Paulus Tanos, yang berada di Singapura. Menurutnya, Singapura tak mendatangani perjanjian ekstradisi terkait kasus korupsi dan hal inilah yang membuat KPK kerepotan.

"Begini, kalau yang namanya pencarian dan kemudian dia berada di luar negeri apalagi di Singapura, secara hubungan antarnegara memang di Singapura nih kalau orang yang sudah dapat permanent residence dan lain-lain agak repot sekalipun dia sudah ditetapkan (sebagai, red) tersangka," ungkapnya saat itu kepada awak media.

"Dan kita tahu bahwa satu-satunya negara yang tidak menandatangani ekstradisi yang berkaitan dengan korupsi adalah Singapura, itu surganya koruptor, yang paling dekat adalah Singapura," imbuh Karyoto.

Catatan ICW untuk Karyoto

Karyoto bukan hanya sekali ini saja melakukan kesalahan baik dalam pernyataan maupun tindakan. Setidaknya, ada lima hal serius lainnya yang harusnya diperhatikan dan membuatnya segera ditindak oleh pimpinan KPK.

Lima hal tersebut, pertama, Karyoto diduga tak pernah melakukan evaluasi terhadap tim satuan tugas yang mencari buronan eks caleg PDI Perjuangan Harun Masiku. Walau beberapa waktu seorang pimpinan KPK mengutarakan niatnya untuk mengevaluasi tim ini, namun dia tampaknya tak menindaklanjuti.

"Kedua, pada pekan pertama bulan Desember tahun 2020, Deputi Penindakan memberikan perlakuan khusus kepada saksi perkara dugaan suap proyek sistem penyediaan air minum di Kementerian PUPR, Agung Firman, Kala itu, Karyoto menyambut langsung kehadiran Agung Firman langsung di lobby gedung KPK," ungkap Kurnia.

"Padahal, kedatangan dari Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu bukan dalam rangka menghadiri acara tertentu, melainkan untuk kebutuhan pemeriksaan sebagai saksi," tegasnya.

Berikutnya, Kurnia menyinggung perihal penanganan dugaan korupsi izin ekspor benur atau benih lobster. Terutama, saat Karyoto menyebut keterangan Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Antam Novambar tak diperlukan. 

Padahal, Antam disebut oleh Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri mengetahui perihal bank garansi yang diduga modus penerimaan uang dari eskportir. 

Selain itu, perihal penanganan dugaan suap bansos COVID-19 di Kemensos yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara juga jadi sorotan. Sebab, kedeputian yang dipimpin Karyoto itu tak kunjung memanggil para saksi yang dianggap terlibat dan terkesan lambat dalam melakukan penggeledahan.

"Bahkan, bukan tidak mungkin kejanggalan ini diketahui atau dilakukan oleh Deputi Penindakan itu sendiri," ungkap Kurnia.

Terakhir, ICW juga menyoroti pernyataan Karyoto yang menyatakan komisi antirasuah telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta yang salah satunya mantan Dirut Perumda Sarana Jaya Yoory C. Pinontoan. "Padahal, pimpinan KPK belum mengumumkan secara resmi perkembangan penanganan perkara itu," ujarnya.

Sehingga, selain meminta memecat dan mengembalikan Karyoto, pimpinan KPK juga diingatkan untuk menertibkan pihak-pihak yang berhak bicara atas nama lembaga. "Ini harus diatur secara ketat," tegasnya.

Singapura: pernyataan Karyoto tak berdasar

Pernyataan Karyoto ini bukan hanya membuat sorotan di dalam negeri. Pemerintah Singapura yang menilai pernyataan ini tak berdasar pun menyatakan sikapnya.

"Tidak ada dasar untuk tuduhan tersebut. Singapura telah memberikan bantuan kepada Indonesia dalam beberapa investigasi sebelumnya dan yang sedang berlangsung," demikian dikutip dari keterangan tertulis yang diunggah ke situs resmi Kemenlu Singapura.

Negeri singa ini bahkan mengungkit bantuan yang telah diberikan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) atau komisi antirasuah Singapura terhadap KPK. Termasuk, memberikan informasi tentang keberadaan warga Indonesia hingga memfasilitasi kunjungan KPK untuk mewawancarai orang yang berkaitan dengan kasus korupsi tertentu.

Tak hanya itu, Singapura juga menyinggung perjanjian ekstradisi dan perjanjian kerja sama pertahanan sebagai satu paket pada April 2007. Saat itu, penandatanganan perjanjian itu disaksikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan PM Lee Hsien Loong meski kedua perjanjian tersebut masih menunggu ratifikasi oleh DPR.

"Singapura telah memberikan dan akan terus memberikan bantuan yang diperlukan kepada Indonesia jika Singapura menerima permintaan dengan informasi yang diperlukan melalui saluran resmi yang sesuai. Singapura dan Indonesia adalah pihak dalam treaty on mutual legal assistance (MLA) dalam masalah pidana di antara negara-negara anggota ASEAN yang sepikiran, di mana kerja sama telah dilakukan sejalan dengan hukum domestik Singapura dan kewajiban internasional," ujar Kemenlu Singapura.

Tak hanya itu, Singapura juga memastikan komitmen yang kuat terhadap supremasi hukum dan pemerintahan yang baik. "Kami akan bekerja sama dalam penegakan hukum dengan Indonesia sesuai dengan hukum domestik dan kewajiban internasional kami. Tidaklah membantu untuk mengalihkan perhatian atau menyalahkan yurisdiksi asing," tegas mereka.