Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo memberikan grasi kepada terpidana kasus korupsi alih fungsi lahan Annas Maamun. Mantan Gubernur Riau ini sedianya dipidana selama tujuh tahun, namun kini masa tahanannya dipotong selama setahun setelah diberikan grasi sesuai Keputusan Presiden nomor 23/G tahun 2019 tentang pemberian grasi.

Kabag Humas dan Protokol Ditjen Permasyarakatan Ade Kusmanto mengatakan pemberian grasi pada Annas yang ditetapkan pada 25 Oktober ini, dilakukan atas dasar kemanusiaan.

"Pertimbangannya adalah berusia di atas 70 tahun. Saat ini yang bersangkutan berusia 78 tahun dan menderita sakit berkepanjangan," kata Ade lewat keterangan tertulisnya, Selasa, 26 November.

Ade kemudian merinci berbagai penyakit yang Annas derita. Dari keterangan dokter diketahui eks kepala daerah ini mengidap POPK (COPD Akut), disepsia syndrome (depresi), gastritis (lambung), hernia, dan sesak nafas sehingga perlu menggunakan oksigen tiap saat.

Atas alasan inilah, kemudian Jokowi bersedia memberikan grasi seperti yang diajukan pihak Annas. Apalagi, berdasarkan pasal 6A ayat 1 dan 2, UU Nomor 5 tahun 2010, demi kepentingan kemanusiaan, Menteri Hukum dan HAM berwenang meneliti dan melaksanakan proses pengajuan grasi tersebut.

"Selanjutnya presiden dapat memberikan grasi setelah memperhatikan pertimbangan hukum tertulis dari Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM," ujar Ade.

Pemberian grasi ini kemudian ditanggapi berbagai sikap, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Melalui Juru Bicara KPK Febri Diansyah, lembaga antirasuah ini mengaku kaget karena dari kasus yang menjerat Annas, pihaknya baru saja menetapkan tiga tersangka baru pada bulan Maret 2019 yang lalu.

Tiga tersangka itu adalah sebuah korporasi yaitu PT Palma Satu dan dua orang lainnya, Suheri Terta selaku Legal Manager PT Duta Palma Group tahun 2014 serta Surya Darmadi selaku pemilik PT Darmex Group/PT Duta Palma.

Selain itu, KPK menilai, perbuatan Annas memberi dampak yang besar bagi lingkungan. "Perlu kita pahami, korupsi yang terjadi di sektor kehutanan memiliki akibat yang lebih besar terhadap hutan itu sendiri, lingkungan dan kepentingan publik untuk lingkungan yang sehat," ungkap Febri.

Eks aktivis antikorupsi ini menyebut, dalam kajian KPK di bidang pencegahan ada tiga temuan masalah yang bisa menjadi celah terjadinya kasus korupsi. Adapun rincian kajian tersebut adalah ketidakpastian status kawasan hutan - legal but not legitimate (Penetapan baru 68,29 persen dari 125,9 juta ha (KLHK, 2017) - penetapan belum bisa menjadi jalan penyelesaian konflik), perizinan SDA yang rentan suap atau pemerasan. Di tahun 2013, KPK menghitung untuk satu izin HPH/HTI besar potensi transaksi koruptif berkisar antara 688 juta hingga 22,6 miliar rupiah setiap tahun.

Selain itu, KPK juga menyebut manfaat sumber daya alam (SDA) tidak sampai ke masyarakat. Febri memaparkan, ada ketimpangan pengelolaan oleh kepentingan skala besar. Hanya ada 3,18 persen SDA yang dialokasikan untuk peruntukan skala kecil.

Meski kaget dengan pemberian grasi dan mengeluarkan sejumlah kajian terkait korupsi lingkungan, KPK mengaku pihaknya menghargai keputusan Presiden Jokowi.

Selain itu, KPK akan mempelajari surat tersebut terlebih dulu. "Dengan tetap menghargai kewenangan Presiden memberikan pengampunan (grasi) terhadap terpidana kasus korupsi Annas Maamun dalam perkara ini, KPK akan mempelajari surat yang dikirim oleh Lapas Sukamiskin tersebut," kata Febri.

Memaklumi sikap antikorupsi Jokowi yang mulai pudar

Bila KPK menghargai keputusan Jokowi terkait pemberian grasi, tidak dengan Indonesia Corruption Watch (ICW). Organisasi antikorupsi ini langsung memberikan kritik keras terkait sikap Jokowi. Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana menyebut pihaknya tak kaget dengan pemberian grasi terhadap koruptor seperti yang dilakukan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Apalagi, ICW melihat komitmen Jokowi terkait antikorupsi tak jelas sehingga ke depan hal semacam ini harusnya mulai bisa dimaklumi.

"Sikap dari Presiden Joko Widodo ini mesti dimaklumi, karena sedari awal Presiden memang sama sekali tidak memiliki komitmen antikorupsi yang jelas. Jadi jika selama ini publik mendengar narasi antikorupsi yang diucapkan oleh presiden, itu hanya omong kosong belaka," ungkap Kurnia lewat keterangan tertulisnya, Rabu, 27 November.

Penilaian soal komitmen tak jelas Jokowi terkait sikap antikorupsi ini, kata Kurnia bukan tanpa bukti. Dia menjelaskan, di tahun 2019, tercatat ada tiga keputusan yang diambil oleh mantan Wali Kota Solo dan bertentangan dengan semangat antikorupsi. Pertama, Jokowi merestui dipilihnya pimpinan KPK dengan rekam jejak buruk.

Kedua, Jokowi nyatanya merestui revisi UU KPK yang melemahkan oleh DPR dan ingkar janji untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU KPK atau Perpu KPK.

Kilas balik soal kasus Annas Maamun, mantan Gubernur Riau yang menjabat pada Februari hingga September 2014 ini diawali lewat sebuah operasi tangkap tangan di tahun yang sama. Ia ditangkap di Cibubur, Jakarta Timur bersama sembilan orang lainnya.

Setelah gelar perkara, KPK menetapkan mantan politikus Partai Golkar itu menjadi tersangka penerima suap Rp2 miliar terkait alih fungsi 140 hektar lahan kebun sawit di Kabupaten Kuanten Singingi, Provinsi Riau.

Kasus itu sempat menyeret nama Menteri Kehutanan kala itu, Zulkifli Hasan. Annas menyebut pernah bertemu dengan politikus PAN di rumahnya untuk membahas usulan revisi perubahan kawasan hutan di Riau.

Selanjutnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Bandung menjatuhkan vonis hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan kepada Annas. Setelah putusan itu, dia lantas mengajukan kasasi. Hasilnya, Annas malah dijatuhi hukuman pidana selama 7 tahun.

Dalam kasus ini, dirinya terbukti menerima suap sebesar 166.100 dolar AS dari Gulat pengusaha, Medali Emas Manurung dan Edison Marudut. Selain itu, Annas terbukti menerima hadiah uang sebesar Rp500 juta dari Gulat agar memenangkan PT Citra Hokiana Triutama milik Edison dalam pelaksana proyek pada Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Riau.