Bagikan:

JAKARTA - Pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada DKI Jakarta 2024 nomor urut dua (2), Dharma Pongrekun-Kun Wardana menawarkan penerapan teknologi rantai blok (blockchain) kepada publik kota ini untuk mendeteksi pelanggaran tata kelola pemerintahan.

"Teknologi ini sebetulnya bisa mengurangi banyak hal, yang pertama korupsi, penyimpangan, kemudian pungutan liar ataupun juga orang-orang dalam yang memanipulasi data yang ada. Karena semuanya itu bisa terlihat dengan cukup baik," kata Kun Wardana  dilansir ANTARA, Selasa, 29 Oktober.

Teknologi blockchain adalah mekanisme basis data lanjutan yang memungkinkan berbagi informasi secara transparan dalam sebuah jaringan.

Menurut Kun, teknologi blockchain adalah teknologi yang terdesentralisasi, yakni setiap di wilayah DKI Jakarta akan ditempatkan peladen (server) masing-masing.

Sistem yang terdesentralisasi itu akan meminimalisasi adanya manipulasi dalam tata kelola pemerintahan, termasuk manipulasi data.

"Teknologi ini terdesentralisasi. Jadi, kalau kita saat ini, kita kan lebih banyak tersentralisasi. Jadi, kemungkinan manipulasi itu tinggi," kata Kun.

Semua tindakan pemerintah berbasis data, kata Kun, bisa dilacak secara efektif dengan teknologi ini.

"Begitu terdesentralisasi, tercatat di setiap wilayah ataupun tempat-tempat yang nanti akan dipasang server-server tadi, maka bila ada yang mengubah, maka mereka akan bisa dilacak dengan baik," katanya. 

Dengan penerapan teknologi blockchain, ucap Kun, tidak akan ada lagi manipulasi, kecuali penambahan data.

"Kemudian juga di dalam teknologi ini tidak ada penghapusan data, tidak ada edit, tidak ada manipulasi. Maka dari itu yang ada itu hanya menambah. Jadi, kalau hanya menambah, kita bisa melihat siapa yang menambah, di tanggal berapa," imbuh Kun.

Kun menjamin tata kelola pemerintahan dapat dijejaki 100 persen dengan teknologi itu.

"Kita dengar sekarang kan banyak keresahan masyarakat. Khususnya soal Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus, Kartu Lansia Jakarta (KLJ), atau kartu bantuan lain. Misalnya mereka yang harusnya menerima Rp600 ribu ternyata mereka hanya mendapatkan Rp300 ribu. Mereka sudah mengeluh sejak lama, bahkan banyak juga yang sudah tidak mendapatkannya lagi," ungkap Kun.

Dengan teknologi blockchain, kata Kun, maka semua manipulasi itu bisa dideteksi hingga kemudian diselesaikan.

"Sehingga dengan hal ini, maka semua transaksi yang tercatat itu akan transparan dan kelebihannya juga dia (teknologi blockchain) tidak bisa diretas," katanya.