JAKARTA - Sebagai etnis bersenjata tertua dan berpengaruh di Myanmar, Karen National Union (KNU) bersama sayap militernya Karen National Liberation Army (KNLA) dengan tegas menolak dan melawan kudeta militer Myanmar.
Pasukan Brigade 5 KNLA diketahui merebut dua pos militer di Distrik Papun, Negara Bagian Karen. Mereka juga berhasil memblokir pengiriman makanan ke pasukan rezim militer di Papun, sehingga memaksa rezim melakukan serangan udara.
Selain aksi militer, KNU sedang bernegosiasi dengan Komite yang Mewakili Parlemen Myanmar (CRPH), badan yang mewakili anggota parlemen Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) terpilih, untuk membahas pembentukan serikat federal.
Juru bicara Brigade 5 Padoh Mahn Mahn mengatakan, pengeboman terjadi pada tanggal 27 hingga 31 Maret. Sementara, sejak 1 April belum ada pengeboman, hanya rezim militer Myanmar melakukan pengintaian.
"Kami telah melihat pengumuman gencatan senjata sepihak oleh dewan militer. Mereka telah berhenti menyerang mungkin karena gencatan senjata. Mungkin, mereka sedang membuat persiapan, dengan alasan gencatan senjata," ujarnya melansir The Irrawaddy.
Dikatakan olehnya, warga desa tidak berani pulang, beberapa memilih melarikan diri ke perbatasan Thailand, tetapi mayoritas bersembunyi di gua dan hutan untuk menghindari serangan udara lebih lanjut. Termasuk juga ada yang berlindung di hutan-hutan Thailand.
"Tidak ada jaminan orang dapat melarikan diri dengan aman ke Thailand. Pertama-tama mereka mengatakan membuat persiapan di berbagai tempat. Tetapi ketika orang-orang kami mulai muncul, mereka menolaknya," ungkapnya.
Padoh Mahn Mahn mengatakan, pengeboman adalah hal yang biasa bagi pasukan mereka. Namun, beda halnya dengan warga sipil. Dikatakan olehnya, semua orang yang terbunuh atau terluka adalah penduduk desa. Semua bangunan yang rusak berada di dalam desa.
"Kami dapat mengatakan militer menargetkan warga sipil. Ini tidak pernah berubah sejak awal. Mereka menyerang pejuang Karen, tetapi mereka tidak pernah menyisihkan penduduk desa. Setiap orang telah melihat bahwa mereka secara brutal membunuh warga sipil tak bersenjata, bahkan di kota-kota yang bukan merupakan zona konflik," terangnya.
Mengenai piagam demokrasi federal yang dicetuskan oleh CRPH, dikatakan olehnya KNU terlibat dalam penyusunan piagam sejak awal. Pimpinan komite pusat KNU disebutnya berpartisipasi dalam proses tersebut.
"Kami tidak melihat prinsip yang jelas tentang tentara federal dalam piagam. Tapi kita bisa melihat mereka akan membangun kekuatan pertahanan. Atas partisipasi kami dalam setiap pasukan yang diusulkan, kelompok etnis sudah memperjuangkan otonomi mereka. Jadi kami akan terus mempertahankan tanah kami," terangnya mengenai rencana pembentukan tentara federal seperti dimuat dalam piagam.
"Meskipun CRPH telah mengeluarkan piagam demokrasi federal, CRPH juga telah membatalkan Konstitusi 2008. Kami menyambut baik itu. Kami puas sampai batas tertentu dengan piagam untuk mendirikan serikat federal," lanjutnya.
Kendati demikian, menurutnya ada pertanyaan tentang bagaimana mengatasi kendala dalam proses penerapan piagam. Dikatakannya, organisasi bersenjata memiliki latar belakang politik, tujuan dan wilayah politik yang jelas. Akan menjadi pragmatis untuk membentuk tentara federal berdasarkan organisasi etnis bersenjata yang ada.
"Kami harus membela dan menolak ketidakadilan dan kekerasan dewan militer. Tentara federal dapat dibentuk baik dengan mengadopsi konstitusi baru atau berdasarkan organisasi bersenjata yang ada," tukasnya.
Mengenai kabar kekhawatiran CRPH akan meninggalkan etnis bersenjata, jika Aung San Suu Kyi dibebaskan, dikatakannya banyak yang mengharapkan Aung San Suu Kyi akan mengamandemen Konstitusi 2008.
"Namun tidak ada kemajuan nyata setelah lima tahun. Yang lebih buruk, NLD (partai politik pimpinan Aung San Suu Kyi) terlihat rukun dengan militer. Itu tidak hanya mengabaikan organisasi etnis bersenjata tetapi juga mengadopsi kebijakan untuk menekan mereka. Hal-hal ini masih menghantui kami," terangnya.
"Namun, di bawah lanskap politik saat ini, jika CRPH benar-benar berkomitmen untuk menerapkan piagam federal, kami tidak perlu khawatir. Aung San Suu Kyi sekarang mungkin mengerti, dia salah mengira bisa mengubah militer, dan upaya rekonsiliasi nasionalnya telah gagal. Meskipun kami memiliki alasan untuk prihatin, kami berasumsi, Aung San Suu Kyi memahami hal ini sekarang," pungkasnya.
BACA JUGA:
Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.