Kasus Nurdin Abdullah, KPK Panggil Ketua Fraksi Gerindra DPRD Makassar
KPK/ANTARA

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadwalkan pemeriksaan empat orang saksi terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi yang melibatkan Gubernur Sulawesi Selatan nonaktif Nurdin Abdullah. Salah satu saksi yang dipanggil yakni Ketua Fraksi Partai Gerindra DPRD Kota Makassar Eric Horas.

"Yang bersangkutan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka NA (Nurdin Abdullah)," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 6 April.

Selain Eric, KPK juga memanggil tiga saksi lainnya untuk Nurdin. Mereka adalah pegawai negeri sipil (PNS) Idham Kadir, wiraswata bernama Fery Tandiadym dan mahasiswa bernama Muhammad Irham Samad.

Belum diketahui materi pemeriksaan terhadap keempatnya. Namun mereka diduga mengetahui perihal kasus yang menjerat Nurdin dan anak buahnya, Sekdis PUTR Sulsel Edy Rahmat.

Diberitakan sebelumnya, KPK menetapkan Nurdin Abdullah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengadaan barang dan jasa, perizinan dan pembangunan infrastruktur di lingkungan Pemprov Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021.

Politikus PDIP ini ditetapkan tersangka bersama Sekretaris Dinas PUPR Provinsi Sulawesi Selatan Edy Rahmat. Sementara Direktur PT Agung Perdana Bulukumba (APB) Agung Sucipto ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.

Saat menjabat sebagai Gubernur Sulsel, Nurdin diduga menerima suap dan gratifikasi dengan nilai total Rp 5,4 miliar terkait proyek di lingkungan Pemprov Sulsel. Duit Rp2 miliar diberikan dari Agung melalui Edy. Suap itu diberikan agar Agung dapat kembali menggarap proyek di Sulsel untuk tahun anggaran 2021.

Atas perbuatannya, Nurdin dan Edy dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Sementara itu, Agung dikenakan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.