Bagikan:

JAKARTA - Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu negatif COVID-19. PM Netanyahu harus menjalani tes COVID-19 setelah seorang ajudannya dikonfirmasi postif. Meski dinyatakan negatif, pemimpin berusia 70 tahun akan tetap melakukan isolasi.

Peraturan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Israel mensyaratkan isolasi diri selama 14 hari untuk siapa pun yang dianggap pernah berada di dekat penderita COVID-19. Mengutip Reuters, Selasa 31 Maret, ajudan yang terinfeksi itu berada di pertemuan parlemen pada pekan lalu. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Netanyahu dan juga anggota parlemen oposisi.

Pertemuan tersebut membahas pembentukan koalisi darurat untuk membantu mengatasi krisis COVID-19 di Israel. Pemimpin oposisi Benny Gantz mengatakan, adanya COVID-19 ini membuat oposisi bersatu bersama PM Benjamin Netanyahu, dan ini merupakan langkah mengejutkan yang dapat mengakhiri tahun kebuntuan politik.

Pemerintah Israel sendiri juga sudah memutuskan memberlakukan lockdown guna menekan penyebaran virus. Israel mengerahkan pasukan bersenjata untuk mendukung polisi dalam patroli jalanan dan menegakkan aturan lockdown.

Sekitar lima ratus tentara bergabung dengan pasukan polisi sejak 29 Maret 2020 untuk berpatroli, mengisolasi masyarakat, dan mengamankan daerah-daerah tertentu. Pasukan yang dipersenjatai plus satu batalion tentara akan dikerahkan ke tiap-tiap dari delapan distrik, kata pihak militer.

Tim gabungan tersebut juga memblokir rute dan tambahan tugas sejenis lain. Otoritas juga memperketat tindakan lockdown dengan mengharuskan warga tinggal di dalam dan dekat rumah. Jika melanggar, maka akan dikenakan sanksi. Pihak keamanan juga telah menyiapkan penutup jalan untuk menegakkan pembatasan pergerakan dan mencegah adanya pertemuan.

Tindakan lockdown yang diambil Israel juga berimbas pada mengguncangnya ekonomi Israel. Bank sentral, pekan ini memproyeksikan kontraksi ekonomi 2,5 persen pada 2020. Angka tersebut tepat jika lockdown berakhir pada akhir April.

Meski begitu, tak semua orang dapat mengindahkan aturan tersebut. Polisi Israel menggunakan sebuah drone, helikopter, dan granat kejut dalam beberapa hari terakhir untuk mencegah orang berkumpul di lingkungan Yahudi ultra-Ortodoks di Yerusalem.

Kelompok ini dikenal sebagai penentang langkah-langkah Kemenkes Israel dalam menanggulangi COVID-19. Pada Senin 30 Maret, polisi Israel mengalami perlawanan dan pelecehan verbal saat menegakkan pembatasan kegiatan di area yang penduduknya telah lama dianggap menolak aturan negara, Mea Shearim. 

"Nazi!" teriak sekelompok anak laki-laki, ketika para polisi menarik orang-orang dari jalan-jalan sempit Mea Shearim.

Para pejabat Israel menggambarkan ultra-Ortodoks sebagai kelompok yang rentan terhadap penularan COVID-19 karena perumahan yang mereka tempati cenderung miskin dan padat. Pada waktu-waktu tertentu, mereka terbiasa mengadakan ibadah dengan jemaat jumlah besar. 

Menurut Times of Israel, kalangan Yahudi Ultra-Ortodoks menyumbang 60 persen dari total pasien COVID-19 yang dirawat di ICU Sheba Medical Center, rumah sakit terbesar di Israel yang terletak di luar Tel Aviv. Selain itu, 50persen pasien di rumah sakit daerah lain juga berasal dari Yahudi ultra-Ortodoks. 

Laporan itu muncul di tengah menipisnya kesabaran para pejabat di komunitas Yahudi ultra-Ortodoks. Para anggota Yahudi ultra-Ortodoks, di mata pemerintah, adalah kerikil karena sikap abai mereka pada seruan pemerintah terkait pembatasan pertemuan dan kegiatan publik.

Pemerintah Israel masih melakukan diskusi panjang soal bagaimana mendorong kepatuhan yang lebih ketat terhadap pembatasan kegiatan terkait COVID-19 di komunitas Yahudi ultra-Ortodoks. Israel melaporkan hampir lima ribu kasus COVID-19 yang terkonfirmasi. Sebanyak 16 penderita dinyatakan meninggal dan 161 orang berhasil disembuhkan.