JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemenkes Budi Sylvana. Dia berompi oranye karena terjerat dugaan korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) COVID-19 yang menggunakan dana siap pakai Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB).
“KPK selanjutnya melakukan penahanan kepada tersangka BS di Rutan Cabang KPK gedung ACLC,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.
KPK juga menahan Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia, Satrio Wibowo dalam kasus ini. Penahanan dilakukan selama 20 hari pertama terhitung sejak 22 Oktober.
Asep menyebut kasus ini berawal pada Maret 2020. Ketika itu, Direktur Utama PT Yonsin Jaya, Shin Dong Keun mewakili para produsen APD menunjuk PT Permana Putra Mandiri sebagai distributor resmi APD selama dua tahun.
Kemenkes selanjutnya melalui Pusat Krisis Kesehatan pada awal membeli APD sebanyak 10 ribu unit dari PT Permana Putra Mandiri dengan harga Rp379.500 per set. Langkah ini dilakukan pada 20 Maret 2020 atau awal pandemi COVID-19.
Setelah itu, sehari kemudian atau 21 Maret 2020, TNI atas perintah kepala BNPB mengambil APD dari produsen APD milik PT Permana Putra Mandiri di Kawasan Berikat dan langsung mendistribusikan ke 10 provinsi.
Tapi, prosesnya tidak dilengkapi dokumentasi, bukti pendukung, dan surat pemesanan.
Selain itu penandatanganan kontrak kesepakatan juga baru dilaksanakan pada 22 Maret.
“Saudara SDK (Shin Dong Keun) dan Saudara SW (Satrio Wibowo) selaku dirut PT EKI (Energi Kita Indonesia) menandatangani kontrak kesepakatan sebagai authorized seller APD sebanyak 500 ribu set dengan nilai tergantung nilai tukar dollar saat pemesanan," jelas Asep.
Setelah penandatanganan ini, PT Permana Putra Mandiri dan PT Energi Kita Mandiri bekerja sama melakukan distribusi APD, dengan margin 18,5 persen diberikan kepada PT Permana Putra Mandiri.
Adapun Harmensyah selaku kuasa pengguna penuh anggaran yang merupakan Sestama BNPB bernegosiasi dengan Satrio Wibowo dalam sebuah rapat.
Negosiasi ini, sambung Asep, dilakukan supaya harga APD bisa diturunkan 10 dolar Amerika Serikat dari 60 dolar Amerika Serikat menjadi 50 dolar Amerika Serikat.
Penawaran itu disebut KPK tak mengacu harga APD sebelumnya, yakni Rp370 ribu per set.
Masih dalam rapat yang sama, PT Permana Putra Mandiri juga akan menagih pembayaran atas 170 ribu set APD yang didistribusikan TNI dengan harga 50 dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp700 ribu.
Usai bersepakat dalam rapat itu, PT Energi Kita Indonesia dan PT Yonsin Jaya memesan 500 ribu set APD dengan menyerahkan giro Rp113 miliar bertanggal 30 Maret 2020. Padahal, penyerahan dilaksanakan pada 25 Maret 2020.
Selain itu, dokumen kepabean dan dokumen lain sengaja menggunakan data PT Permana Putra Mandiri. Penyebabnya, PT Energi Kita Indonesia tidak mempunyai izin penyaluran alat kesehatan, tidak memiliki gudang, dan Non PKP.
"Pada 27 Maret 2020, Saudara SW menghubungi kepala BNPB pada saat itu, di antaranya untuk segera dilakukan pembayaran terhadap 170 ribu APD yang diambil TNI dan meminta diberikan SPK dari BNPB agar sesuai dengan pengamanan raw material dari Korea," paparnya.
Atas permintaan itu, pembayaran pertama sebesar Rp10 miliar dilakukan pada 27 Maret 2020 dari bendahara BNPB kepada rekening BNI PT PPM. Padahal, saat itu belum ada kontrak ataupun surat pesanan.
Sedangkan pembayaran kedua sebesar Rp109 miliar dilakukan pada 28 Maret 2020 dari PPK Puskris Kemenkes kepada rekening BNI PT PPM.
"Di sisi lain, Saudara HM baru menunjuk Saudara BS (BUDI SYLVANA) sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) untuk pengadaan APD di Kementerian Kesehatan pada 28 Maret 2020. Sedangkan surat keputusan penunjukan tersebut dibuat backdate tertanggal 27 Maret 2020," ungkapnya.
BACA JUGA:
Berikutnya, KPK juga mengungkap rapat itu juga menerbitkan surat pemesanan APD dari Kemenkes kepada PT Permana Putra Mandiri sejumlah 5 juta setdengan harga satuan 48,4 dolar Amerika Serikat yang ditandatangani Satrio Wibowo. Kata Asep, surat tersebut tidak terdapat spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan pekerjaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak secara teperinci.
Asep juga menyebut surat pemesanan tersebut ditujukan kepada PT Permana Putra Mandiri tetapi PT Energi Kita Indonesia turut menandatangani surat tersebut.
Kemudian praktik lancung juga diduga terjadi karena terjadi negosiasi ulang dengan harga yang disepakati secara bervariatif. Untuk 503.500 set APD yang dikirim 27 April 2020-7 Mei 2020 disepakati harga Rp366.850.
Barang yang dikirim setelah 7 Mei 2020 dengan harga Rp 294.000. Secara total, Kemenkes menerima 3.140.200 set APD hingga 18 Mei 2020.
Akibat perbuatannya, KPK menjerat para tersangka dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sebab, mereka telah membuat negara merugi hingga ratusan miliar.
"Atas pengadaan tersebut, audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319 miliar," pungkas Asep.