JAKARTA - Sejumlah kelompok massa menggelar aksi unjukrasa di depan kantor pengurus pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Jakarta Barat. Aksi unjukrasa itu merupakan buntut maraknya peredaran skincare beretiket biru yang diduga tidak memenuhi standar yang berlaku dan dijual di tempat-tempat umum, seperti mall dan toko kelontong.
"Etiket biru tidak boleh dianggap remeh. Ini adalah penandaan untuk obat yang seharusnya hanya diresepkan dokter dan diracik oleh apoteker," kata orator aksi dari pengurus Perisai, M. Hapi kepada wartawan, Rabu, 2 Oktober.
M. Hapi menyoroti pentingnya keterlibatan profesional medis dalam proses ini. Menurutnya, etiket biru merujuk pada obat luar seperti salep dan krim yang hanya boleh digunakan setelah adanya konsultasi dengan dokter.
Kata Hapi, skincare beretiket biru menjadi obat resmi yang harus memenuhi sejumlah persyaratan meliputi resep dokter karena obat racikan ini hanya boleh diresepkan oleh dokter sesuai dengan kondisi kesehatan pasien.
Kemudian, pengolahan oleh apoteker. Obat yang diresepkan harus diracik oleh apoteker yang berlisensi. Selanjutnya proses distribusi harus melalui apotek resmi.
"Karena mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 196 dan Pasal 197 mengatur sanksi bagi mereka yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan produk farmasi yang tidak memenuhi standar," ucapnya.
BACA JUGA:
Pelanggaran ini, sambungnya, dapat berakibat pada hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda mencapai Rp1,5 miliar.
Sementara dalam orasi lainnya, Ketua Bidang Hukum dan HAM, Mansyur mengatakan, aksi unjukrasa ini dilakukan dalam upaya melindungi konsumen.
"Kami meminta BPOM dan aparat penegak hukum untuk memberantas mafia kosmetik yang menjual skincare beretiket biru tanpa resep dokter. Meminta penegakan hukum yang tegas terhadap penjualan krim beretiket biru," katanya.