Bagikan:

JAKARTA - Polisi menyerahkan tiga dari empat pelaku pembunuhan dan memperkosa siswi SMP ke Panti Sosial Rehabilitasi Anak Berhadapan dengan Hukum (PSRABH). Lantaran ke-3 masih di bawah umur dan dilindungi undang-undang.

Sementara pelaku utama yakni IS (16) dilakukan penahanan oleh kepolisian dengan dijerat Pasal 76 C dan Pasal 80 ayat 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp3 miliar.

Pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menilai keputusan tersebut sudah sesuai dengan aturan. Karena ketiga pelaku itu usianya masih di bawah 14.

Dalam Undang-Undang SPPA, anak yang berkonflik dengan hukum, tetapi belum genap berusia 14 tahun hanya dapat dikenakan tindakan dan tidak dapat dilakukan penahanan atau pidana.

“Karena itu memang ketentuannya kalau belum 14 tahun, itu belum bisa. Bahkan belum 12 tahun bisa dimintai tanggung jawab. Ya namanya anak-anak, tidak bisa dilakukan pidana anak,” kata Pohan saat dikonfirmasi VOI, Jumat, 13 September.

Terlebih berdasarkan penelitian bila tindakan penahan atau dipenjara bukanlah tempat yang baik untuk merubah sikap anak-anak yang melakukan pidana. Bahkan berdasarkan kesepakatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tindakan penahanan tidak baik untuk anak.

Oleh sebab itu, langkah yang baik adalah merubah untuk menjadi lebih baik, yakni dengan dilakukan pembinaan.

“Apakah kita mau membalas, dibalas. Dengan resiko nanti kita lihat jadinya apa. Apakah kita ingin membina. Kita ingin ada anak-anak melakukan tindakan kejahatan, atau ingin melakukan yang terbaik untuk anak-anak,” ucapnya.

Perihal banyak masyarakat dan orang tua korban yang merasa tidak terima jika tiga pelaku pemerkosaan dan pembunuhan tidak dilakukan penahanan, Pohan menganggap itu hal yang biasa.

Namun, ia menegaskan bila hukum itu tidak mendasari dengan kemarahan perorangan. Sebab aturan itu dibuat dengan beberapa pertimbangan yang terbaik untuk anak yang berhadapan dengan hukum.

“Apakah hukum itu memfasilitasi kemaharan orang, kan engga begitu. Hukum kan sudah dipikiran baik-baik dalam situasi tidak emosional untuk mengatur apa yang terbaik. Diseluruh dunia hampir sama,” tutupnya

Caption: Dok. ANTARA/ M Imam Pramana