Mudik Lebaran Dilarang, Dampak Kerugian Usaha Transportasi Perlu Dipikirkan
Ilustrasi - Penumpang tiba di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta. (Galih Pradipta/Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah resmi melarang mudik lebaran di tahun ini. Hal ini diputuskan berdasarkan rapat koordinasi antara sejumlah kementerian dan lembaga.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Menko PMK) Muhadjir Effendy bilang, larangan mudik ini berlaku untuk berlaku untuk seluruh ASN, TNI, Polri, pegawai BUMN, karyawan swasta, pekerja mandiri, hingga seluruh masyarakat.

Kemudian, larangan mudik ini akan dimulai tanggal 6 Mei sampai dengan 17 Mei 2021. "Saat hari dan tanggal itu, diimbau kepada masyarakat untuk tidak melakukan pergerakan atau kegiatan-kegiatan yang keluar daerah, kecuali betul-betul dalam keadaan mendesak dan perlu," ungkap Muhadjir, beberapa waktu lalu.

Selain itu, cuti bersama Hari Raya Idulfitri juga dipersingkat menjadi hanya satu hari. Dengan begitu, cuti bersama hanya berlaku pada tanggal 12 Mei 2021 yang jatuh pada hari Rabu. Kemudian, Hari Raya Idulfitri hari pertama dan kedua jatuh pada tanggal 13 dan 14 hari Kamis dan Jumat.

Menanggapi hal ini, pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia Djoko Setijowarno  menyebut jika pemerintah mau serius melarang, ada cara yang mudah.

Pada rentang tanggal yang ditetapkan untuk larangan mudik, pemerintah bisa memberhentikan semua operasional transportasi di bandara, terminal penumpang, stasiun kereta, dan pelabuhan. 

"Tidak perlu ada pengecualian, sehingga hasilnya akan lebih terasa manfaatnya. Perlu dipertimbangkan menggunakan frasa melarang, namun nanti masih banyak pengecualian yang dilakukan," kata Djoko pada Senin, 29 Maret.

Namun, ada satu hal yang tak boleh luput dari perhatian Presiden Joko Widodo, yakni perhatian terhadap dampak perekonomian usaha transportasi. Djoko menyebut, pengusaha maupun pekerja transportasi sangat merasakan lesunya perekonomian dari kebijakan laranvan mudik lebaran tahun lalu.

Sebab, program bantuan langsung tunai (BLT) yang diusulkan Organisasi Angkutan Darat tidak ditanggapi serius oleh pemerintah. Adanya bantuan ke pengemudi transportasi umum selama tiga bulan, kenyataannya tidak tersalurkan tepat sasaran. 

"Pengemudi ojek justru ikut mendapatkan bantuan itu. Tidak ada kordinasi dengan Organda setempat. Tidak ada satupun instansi pemerintah memiliki data pengemudi transportasi umum yang benar," ungkapnya.

Di sisi lain, pemerintah juga tidak memberikan relaksasi pajak dan retribusi seperti PKB, BBNKB, PBB, pajak reklame, UKB, retribusi parkir dan emplasemen terhadap penyelenggaraan transportasi umum di daerah.

Pemerintah masih menganggap transportasi umum sebagai sumber pendapatan daerah yang potensial. Transportasi umum asih dianggap sebagai bagian dari kebutuhan hidup yang wajib mendapat dukungan semua pihak.

"Oleh sebab itu, diperlukan upaya gotong royong semua instansi pemerintah pusat hingga daerah untuk memberikan bantuan terhadap bisnis transportasi umum darat supaya keberlanjutan bisnis transportasi umum darat tetap terjaga," pungkasnya.