JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengungkapkan alasan pihaknya baru melakukan penahanan terhadap mantan Dirut PT Pelindo II, Richard Joost Lino atau RJ Lino.
Padahal, RJ Lino sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak lima tahun lalu atau tepatnya Desember 2015.
“Kendalanya memang dari perhitungan kerugian negara di mana BPK itu meminta agar ada dokumen atau harga pembanding terhadap alat tersebut,” kata Alex dalam konferensi pers penahanan RJ Lino yang ditayangkan di akun YouTube KPK RI, Jumat, 26 Maret.
Dia mengungkapkan, KPK sebenarnya sudah mencoba cara untuk mendapatkan data pendukung agar RJ Lino bisa segera ditahan. Bahkan, KPK pernah meminta bantuan pihak inspektorat dari China.
“Waktu itu ada inspektorat dari China ke KPK itu juga sudah kami sampaikan bahwa kami membutuhkan berapa sih sesungguhnya harga QCC tersebut yang dijual oleh HDHM,” ungkapnya.
Tak hanya itu, pada 2018 lalu sebenarnya pimpinan KPK periode sebelumnya yaitu Ketua KPK Agus Rahardjo dan Wakil Ketua KPK Laode M Syarif sudah pernah berangkat ke China dan dijanjikan akan bertemu dengan menteri atau jaksa agung di sana. “Tapi pada saat terakhir ketika mau bertemu dibatalkan,” jelasnya.
Sehingga, kendala inilah yang akhirnya dihadapi oleh KPK sebelum menahan RJ Lino. Selain itu, kesulitan lainnya adalah saat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menuntut adanya dokumen atau data yang dibutuhkan dalam penghitungan kerugian negara.
“Di sisi lain penyidik kesulitan mendapatkan harga qcc atau setidaknya harga pembanding. Kalau, misalnya HDHM menjual ke negara lain itu bisa dibandingkan sehingga itu bisa menjadi dasar perhitungan negara,” tegas Alex.
BACA JUGA:
Akhirnya, KPK memutuskan menggunakan ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk menghitung harga pokok produksi dari Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II. Hasilnya, berdasarkan ahli memang terjadi selisih dalam pengadaan tersebut.
“Terjadi selisih yang signifikan dibandingkan dengan harga yang dibeli dari Pelindo ke HDHM yang sebesar 15 juta dolar Amerika. kontraknya segitu. Sementara ahli dari ITB, mungkin termasuk ongkos angkut ke sini secara total 10 juta dolar Amerika Serikat,” kata Alex.
“Jadi ada perbedaan sekitar 5 juta dolar Amerika,” imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, RJ Lino diduga melakukan penunjukkan langsung terhadap perusahaan asal China yaitu HuaDong Heavy Machinery (HDHM) dalam pengadaan tiga unit QCC di PT Pelindo II.
Atas perbuatannya, RJ Lino lantas disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.