Bagikan:

JAKARTA - Mirah Sughandi, warga lokal Bali, mengutarakan kekecewaannya setelah diusir dari Pantai Sanur oleh seorang satpam Hotel Puri Santrian di media sosial Instagram. Video itu pun viral. Mirah bukan satu-satunya orang yang kena imbas dari praktik privatisasi pantai. Masih ada Mirah lainnya di luar sana. Lantas bagaimana hukum mengaturnya?

Peristiwa itu terjadi pada Selasa 23 Maret sore. Saat itu Mirah mengaku diusir satpam hotel saat ia bermain dengan anaknya di pantai yang lokasinya persis dekat hotel tersebut. 

"Hari ini aku abis diusir sama satpam. Katanya aku gak boleh duduk di pantai itu, itu milik hotel. Terus aku ditanya tamu hotel apa bukan. Jelas bukan. Aku hanya melancong aja di pantai milik publik ini," kata Mirah lewat unggahannya. 

"Ini pantai luas banget. Aku baru tahu kalau hotel bisa punya pantai. Serius aku nanya, siapa yang punya pantai ini?" tanya Mirah melanjutkan.

Viralnya video Mirah kemudian sampai juga ke pemilik Hotel Puri Santrian, IB Gede Sidharta Putra. Ia pun lantas mengklarifisikasi hal tersebut. Menurutnya hal itu terjadi karena adanya miskomunikasi. 

Seperti dikutip Kompas, pihak hotel menyebut semua pantai adalah punya publik. Sehingga kegiatan apapun itu tak boleh dilarang oleh hotel. Agar kejadian ini tak terulang ia mengaku akan membina para stafnya. 

Mirah tak sendiri

Peristiwa seperti ini sebenarnya bukan perama kali terjadi di Bali. Seperti dikutip CNN, pada 2019, seorang nelayan yang tengah menyandarkan kapalnya di pesisir tiba-tiba diusir seorang warga negara asing. 

Ia diusir karena disebut memasuki wilayah pribadi yang diklaim merupakan bagian dari vila milik WNA itu. Orang tak dikenal tak boleh mengitari pantai apalagi menyandarkan perahu tanpa seizinnya. Peristiwa itu juga sempat viral sampai memunculkan penolakan privatisasi pantai yang kerap terjadi di kawasan Bali. 

Putri Kusuma Sanjiwani dalam jurnalnya yang bertajuk Pengaturan Hukum Terhadap Privatisasi Sempadan Pantai oleh Pengusaha Pariwisata di Provinsi Bali (2016) mengamini bahwa praktik privatisasi sempat terjadi di beberapa wilayah pantai. Di Kabupaten Badung misalnya, menurut temuan Putri lima tahun silam, beberapa pantai yang sempat diprivatisasi antara lain Nuda Dua, Seminyak, dan Bukit Unggasan. 

Selain itu, Putri juga menyebut daerah Sanur, Canggu dan Candi Dasa sebagai daerah pantai yang diduga sempat dikooptasi. "Praktik privatisasi yang semakin marak terjadi di kawasan sempadan pantai pulau Bali melumpuhkan kegunaan dan fungsi pantai sebagai area publik, khsusnya melumpuhkan perekonomian nelayan."

Ilustrasi (Sumber: Unsplash)

Privatisasi tersebut menurut Putri dilakukan oleh investor atau pengusawa pariwisata yang bergerak di dalam bidang penyediaan akomodasi termasuk hotel. Bentuk privatisasi pantai, kata Putri, "Berupa kepemilikan secara pribadi sempadan pantai yang masih alami (virgin) dan sempadan pantai yang menjadi fasilitas umum."

Sementara itu, Mirah juga menjelaskan bentuk-bentuk nyata dalam privatisasi pantai berbeda-beda. Ada yang berupa pemasangan pembatas berupa pelampung atau bendera seperti yang pernah terjadi di Sanur, pemasangan beton di area pantai untuk menghalangi nelayan menancapkan perahunya seperti yang terjadi di daerah Candi Dasa, dan adanya penutupan akses tangga menuju pantai yang terletak di bawah tebing seperti yang pernah terjadi di daerah Bukit Jimbaran.

Peraturannya

Secara hukum, pada dasarnya privatisasi pantai ini telah diatur dan dilarang oleh Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai. Perpres tersebut turunan dari Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil yang telah diubah ke UU Nomor 1 tahun 2014.

Detailnya, Perpres tersebut mengatur soal batas sempadan pantai ketika seseorang atau perusahaan membuat bangunan di pesisir pantai. Batas sempadan itu minimal sepanjang 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 

Seperti diketahui, sempadan pantai merupakan wilayah daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai. Sempadan juga merupakan garis batas antara ruang privat bangunan dengan ruang publik yang bisa diakses siapa saja tanpa harus ada izin dari pemilik bangunan di dekat pantai tersebut. 

Namun kenyataannya kawasan pantai yang telah diatur menjadi sempadan ini justru kerap dikooptasi dan dikuasai pemilik bangunan seperti hotel maupun vila di wilayah pesisir pantai. Padahal sempadan sendiri selain berguna untuk aktivitas publik, juga bermanfaat sebagai area untuk menjaga keseimbangan kawasan alam dengan manusia. 

*Baca Informasi lain soal PARIWISATA atau baca tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian.

 

BERNAS Lainnya