Perbankan Kacau: Rezim Militer Myanmar Ancam Bank Swasta Denda Ratusan Juta, Sita Rekening Nasabah
Salah satu bank swasta di Myanmar, AYA Bank. (Wikimedia Commons/Marcin Konsek)

Bagikan:

JAKARTA - Rezim militer Myanmar kabakaran jenggot. Dua bulan kudeta berjalan sejak 1 Februari lalu, sistem perbankan Myanmar kacau balau, seiring dengan aksi pemogokan yang dilakukan karyawan bank, menolak kudeta militer Myanmar.

Bank-bank swasta pun memilih untuk menutup gerainya, lantaran karyawan bergabung dengan aksi pembangkangan sipil (CDM), menolak bekerja di bawah rezim militer Myanmar.

Untuk mengembalikan perputaran roda industri perbankan, rezim militer Myanmar melalui Bank Sentral Myanmar (CBM), memberlakukan denda dan hukuman kepada bank swasta mulai pekan ini. 

CBM akan mengenakan denda mulai dari 2 juta kyat 20,1 juta rupiah hingga 30 juta kyat atau sekitar 205 juta rupiah per minggu dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Selain itu, CBM juga meminta perusahaan keuangan, termasuk bank swasta dan layanan dompet digital, untuk meminta karyawannya kembali bekerja. Bagi karyawan yang tidak memenuhi perintah ini, masuk daftar hitam dan tidak dapat bekerja kembali di industri perbankan dimasa depan.

Pejabat dari dua bank swasta menegaskan kepada The Irrawaddy, mereka telah menerima arahan terpisah dari CBM. Seorang pejabat senior cabang bank swasta terbesar di Myanmar menuturkan, terlepas dari ancaman rezim, operasi bank tidak akan dapat dilanjutkan dengan lancar selama karyawan menolak untuk kembali.

“Tidak ada yang bisa kami lakukan. Kebanyakan dari mereka memilih cuti tidak dibayar, ketika kami menyuruh mereka kembali (ke kantor). Bank telah meminta agar staf mempertimbangkan tekanan yang mereka hadapi. Kita perlu menunggu dan melihat bagaimana tanggapan karyawan pada Senin pekan depan," jelasnya.

Sejak kudeta Myanmar 1 Februari, ratusan cabang dari setidaknya 31 bank lokal dan 13 bank asing di Myanmar memilih tutup karena pemogokan karyawan, menghentikan semua layanan perbankan, kecuali untuk layanan perbankan seluler dan ATM. 

Akibatnya, hampir semua perusahaan perdagangan, terutama yang bergerak di bidang perdagangan internasional, terpaksa menghentikan operasionalnya. Karena bank tidak dapat mengeluarkan dokumen yang diperlukan untuk kegiatan ekspor-impor. Perusahaan juga berjuang untuk membayar gaji, karena bank tidak menyediakan layanan penggajian.

Meskipun rezim militer menahan pejabat bank dan berulang kali menekan mereka untuk melakukan upaya untuk melanjutkan operasi, karyawan bank dengan tegas menolak untuk kembali bekerja.

Rezim militer juga telah memperingatkan bank-bank swasta, mereka akan melakukan pemindahan paksa rekening simpanan pribadi ke bank-bank yang dikendalikan militer Myanmar, jika mereka tidak dapat melanjutkan operasinya.

Selain itu, bank berada di bawah pengawasan setelah rezim mengumumkan bahwa mereka akan menyelidiki semua transaksi keuangan organisasi non-pemerintah internasional (LSM internasional) dan organisasi non-pemerintah (LSM) sejak 1 April 2016. 

"Kami tahu atasan kami menghadapi tekanan dari semua sisi. Tapi, kami tidak bisa kembali bekerja, sementara pegawai negeri mempertaruhkan nyawa mereka dan menyerahkan semua yang mereka miliki untuk menentang rezim militer," tegasnya. seorang karyawan Bank Ayeyarwady (AYA).

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.