Bagikan:

JAKARTA – Kisruh DPR RI menempuh jalur konstitusional untuk menganulir putusan MK No. 60 dan No. 70, dinilai sah oleh sebagian pihak dan tidak menyalahi undang-undang. Namun ada anggapan bila momentum yang diambil tidak tepat, sehingga menimbulkan kesan dipaksakan. Hal tersebut yang membuat rakyat marah hingga melakukan demo besar-besaran di berbagai daerah.

Hal tersebut disampaikan Ketua Konsorsium Penegakan Hukum Indonesia (KOPHI) Rudy Marjono. Rudy menilai bila DPR RI terlalu cepat, momennya tidak tepat.

"Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan yang mengikatnya. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) itu tidak hanya mengikat para pihak pengaju, tetapi juga harus ditaati oleh siapapun. Sehingga putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang, kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain.” kata Rudi saat berbincang dengan VOI, Jumat 23 Agustus.

Menurut Rudy, dalam hal ini putusan MK berlaku asas Erga Omnes yang sifat hukumnya berlaku secara publik dan berlaku bagi siapa saja.

“Nah di sini berlaku asas Erga Omnes. Asas yang merefleksikan kekuatan hukum mengikat. Dan karena sifat hukumnya secara publik, maka berlaku pada siapa saja. Tidak hanya berlaku bagi para pihak yang berperkara, sebagaimana disebutkan dalam pasal 10 ayat (1).” terangnya.

Menyebut Pasal 10 ayat (1), Rudy pun merinci, penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

“Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).” Rudy mengurai.

Rudy kembali menjelaskan, asas Erga Omnes tersebut tercermin melalui frasa sifat final dan mengikat dalam sebuah putusan MK .

“Tindakan DPR RI sebenarnya tidak merubah putusan MK karena sudah final and binding , sehingga cara mensiasatinya dengan dibuatkannya UU baru. Nah di sini titik permasalahannya, sehingga publik melihatnya ini sepertinya akal-akalan kelompok elit politik yang pro rezim yang tidak mau konstelasi yang sudah dibangun selama ini, dengan skenario yang mudah kita baca arahnya ke mana. Dengan adanya putusan MK, semuanya bisa jadi berantakan, karena akan memunculkan kandidat lainnya yang dapat bertarung di pilkada.” ungkapnya.

Bagi Rudy, tidak ada yang salah yang dilakukan DPR RI untuk membuat UU baru untuk merubah aturan main dalam Pilkada. Namun, lanjut Rudy, tidak lazim karena kesannya dipaksakan, dan terburu-buru.

“Sehingga yang dibaca publik adalah penjegalan konstitusi, dan karena kontestasi pilkada sarat dengan kepentingan politik, menciptakan ledakan penolakan yang dahsyat. Dan seandainya DPR RI mau saja bersabar, dan menunda tahun depan, saya rasa tidak bakalan terjadi kegaduhan seperti kemarin. Sebab UU bikinan yang baru nantinya masih bisa di MK kan lagi, ketika tidak memenuhi rasa keadilan,” terang Rudy menutup pembicaraan.

Diberitakan VOI pada 21 Agustus, DPR dan pemerintah menepis tudingan telah menganulir putusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas pencalonan partai politik untuk mengusung calon pada pilkada melalui revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang disetujui dalam pembicaraan tingkat I.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengklaim DPR dan pemerintah justru telah mengadopsi sebagian putusan MK tersebut dengan lebih mendetailkan dalam materi muatan RUU Pilkada.

"DPR bersama pemerintah tidak mengubah putusan, tidak membatalkan putusan MK, tetapi mengadopsi putusan MK dengan kemudian lebih mendetailkan. Mendetailkan apa? Terkait dengan partai-partai nonparlemen itu diatur tersendiri, terkait dengan parpol-parpol yang ada kursi di parlemen itu diatur tersendiri," ujar Awiek.

Ia mengatakan DPR dan pemerintah memiliki kewenangan dalam merumuskan undang-undang, sementara MK tidak.

"Karena kewenangan DPR itu membuat norma baru. Dalam setiap putusan MK itu boleh DPR membuat norma baru. Setiap membentuk undang-undang, pertimbangannya putusan MK pun banyak tadi itu," ucapnya.