Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan eks Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino alias RJ Lino atas kasus korupsi. 

Penahanan ini dilakukan pada Jumat, 26 Maret atau lima tahun setelah dirinya ditetapkan sebagai tersangka pengadaan tiga Quay Container Crane (QCC) di PT Pelindo II. 

KPK dulu diketahui sering menahan orang di hari Jumat. Dimana setiap tersangka yang diperiksa KPK pada hari Jumat, sebagian besar ditahan dan disebut dengan 'Jumat Keramat'.

“Untuk kepentingan penyidikan, KPK menahan tersangka selama 20 hari terhitung sejak tanggal 26 Maret sampai 13 April 2021 di Rutan Klas I Cabang Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers penahanan tersangka, Jumat, 26 Maret.

Perjalanan kasus ini terjadi pada 2009 lalu. Alex mengatakan, saat itu PT Pelindo II melakukan pelelangan pengadaan tiga unit QCC dengan spesifikasi single lift untuk tiga pelabuhan yaitu Pelabuhan Panjang, Palembang, dan Pontianak yang selanjutnya dinyatakan batal dan dilakukan penunjukan langsung terhadap PT Barata Indonesia.

Hanya saja, penunjukkan langsung itu juga batal karena tak ada kesepakatan harga dan spesifikasi barang tetap mengacu pada standar eropa.

Selanjutnya, pada Januari 2010, RJ Lino sebagai Direktur Utama PT Pelindo II diduga membuat surat disposisi yang memerintahkan Direktur Operasi dan Teknik Ferialdy Noerlan. Surat ini ditujukan melakukan pemilihan langsung dengan mengundang tiga perusahaan dari China yaitu ZPMC, Wuxi, dan HDHM, serta satu perusahaan dari Korea Selatan Doosan.

Berikutnya, pada Februari di tahun yang sama RJ Lino memerintahkan anak buahnya untuk melakukan perubahan pada Surat Keputusan Direksi PT Pelindo II tentang Ketentuan Pokok dan Tatacara Pengadaan Barang/Jasa di Lingkungan PT Pelindo II. 

“Perubahan dimaksudkan agar bisa mengundang langsung ke pabrikan di luar negeri. Adapun Surat Keputusan Direksi PT. Pelindo II (Persero) tersebut menggunakan tanggal mundur (back date) sehingga HDHM dinyatakan sebagai pemenang pekerjaan,” ungkap Alex.

Lebih lanjut, dirinya menjelaskan, dalam penunjukkan HDHM tersebut, RJ Lino menuliskan disposisi "GO FOR TWINLIFT" pada kajian yang disusun oleh Direktur Operasi dan Teknik.

“Padahal pelaporan hasil klarifikasi dan negosiasi dengan HDHM ditemukan bahwa produk HDHM dan produk ZPMC tidak lulus evaluasi teknis karena barangnya merupakan standar China dan belum pernah melakukan ekspor QCC ke luar China,” jelasnya.

Berlanjut ke Maret 2010, RJ Lino kemudian memerintahkan anak buahnya untuk melakukan evaluasi teknis atas QCC Twin Lift HDHM. Selain itu, dia juga memberi disposisi kepada Direktur Komersial dan Pengembangan Usaha PT Pelindo II Saptono R Irianto untuk untuk melakukan kajian operasional dengan kesimpulan QCC Twin Lift tidak ideal untuk Pelabuhan Palembang dan Pelabuhan Pontianak. 

Terkait pengadaan ini, RJ Lino diduga menandatangani dokumen pembayaran tanpa tanda tangan persetujuan dari Direktur Keuangan. Jumlah uang muka yang saat itu dibayarkan mencapai USD24 juta yang dicairkan secara bertahap.

Selain itu, penandatangan kontrak antara PT Pelindo II dengan HDHM dilakukan proses pelelangan masih berlangsung dan begitu pun setelah kontrak ditandatangani masih dilakukan negosiasi penurunan spesifikasi dan harga, agar tidak melebihi nilai Owner Estimate (OE). 

Sementara terkait QCC yang dikirimkan ke tiga pelabuhan dilakukan tanpa commision test yang lengkap. Padahal, pengujian ini harusnya menjadi syarat wajib sebelum dilakukannya serah terima barang.

Adapun harga kontrak keseluruhan QCC ini, seluruhnya mencapai 15.445.000 dolar Amerika Serikat yang terdiri dari 5.344.000 dolar Amerika Serikat untuk pesawat angkut di Pelabuhan Panjang, 4.920.000 dolar Amerika Serikat untuk pesawat angkut di Pelabuhan Palembang, dan 5.290.000 dolar Amerika Serikat untuk pesawat angkut yang berlokasi di Pelabuhan Pontianak.

Dalam kasus dugaan korupsi ini, KPK akhirnya telah memperoleh data dugaan kerugian keuangan dalam pemeliharaan unit QCC itu sebesar 22.824,94 dolar Amerika Serikat.

“Sedangkan untuk pembangunan dan pengiriman barang 3 unit QCC tersebut BPK tidak menghitung nilai kerugian Negara yang pasti karena bukti pengeluaran riil HDHM atas pembangunan dan pengiriman 3 unit QCC tidak diperoleh,” ungkap Alex.

Selain itu KPK juga memperoleh data dari ahli Universitas Institut Teknologi Bandung (ITB) bahwa harga pokok produksi QCC lebih murah. Unit QCC di Pelabuhan Palembang sebenarnya hanya senilai 2.996.123 dolar Amerika Serikat; 3.356.742 dolar Amerika Serikat untuk QCC Panjang; dan 3.314.520 dolar Amerika Serikat untuk QCC Pontianak. 

Akibat perbuatannya ini, RJ Lino kemudian disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.