JAKARTA - Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute menilai langkah buru-buru DPR RI membahas Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bentuk korupsi. Legislator di Senayan terkesan tak mau kerja oligarki terhambat.
“Tindakan DPR RI yang secara terburu-buru membahas RUU Pilkada pasca Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 adalah bentuk ‘korupsi legislasi’,” kata Ketua IM57+ Institute, M. Praswad Nugraha melalui keterangan persnya, Kamis, 22 Agustus.
Praswad menyebut MK harusnya hadir untuk menjaga tak ada perundangan yang bertentangan dengan konstitusi. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya karena pembahasan dipercepat bahkan menganulir putusan yang sudah diketuk.
“Tindakan tersebut sangat berbeda ketika putusan MK menguntungkan kepentingan penguasa yang ada, misalnya dengan adanya alternatif syarat bagi pencalonan anak presiden,” tegas eks pegawai KPK itu.
“Ini menunjukan bahwa selera penguasa menjadi penentu sehingga prinsip-prinsip legislasi tidak lagi sesuai dengan prinsip demokratis sehingga menimbulkan ‘korupsi legislasi’,” sambung Praswad.
Lebih lanjut, sikap anggota dewan di Senayan juga dianggap sebagai bentuk pembajakan nilai reformasi. Nilai demokrasi kini justru diganti dengan keinginan oligarki.
Sehingga, rakyat tidak akan diam dengan kondisi kekinian. “Inilah satu bagian dari rangkaian yang telah terjadi dalam membajak nilai-nilai reformasi sehingga tatanan oligarkis menggantikan cita reformasi yang demokratis. Untuk itulah IM57+ Institute mengajak seluruh elemen untuk melawan sehingga kita tidak akan kehilangan tatanan masyarakat demokratis,” ujar Praswad.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati RUU Pilkada dalam rapat hari ini. RUU itu disetujui delapan dari sembilan fraksi di DPR dan hanya PDI Perjuangan (PDIP) yang menolak.
Dalam rapat itu, Baleg DPR RI beberapa kali mengabaikan interupsi dari PDIP. Ujung pembahasan ini putusan MK terkait batas usia calon kepala daerah hingga ambang batas partai untuk mencalonkan kandidat tidak diikuti.