JAKARTA - Undang-undang Keamanan dunia maya baru Inggris, telah mendapatkan perhatian pemerintah setelah kelompok sayap kanan menggunakan media sosial untuk menghasut dan memicu aksi kekerasan.
Undang-undang (UU) baru itu akan mulai diterapkan tahun depan dan ditujukan untuk mengendalikan penyebaran berita-berita spekulatif dan ujaran kebencian.
UU yang disahkan pada 26 Oktober 2023 itu, tunduk pada penerapan peraturan secara bertahap dan akan diberlakukan sepenuhnya tahun depan.
Dilansir ANTARA dari Anadolu, Selasa, 20 Agustus, UU baru itu akan memidanakan penyebaran konten palsu atau mengancam dengan tujuan menyebabkan bahaya psikologis atau fisik.
Selain itu UU baru setebal 286 halaman itu juga menetapkan tanggung jawab baru bagi platform media sosial untuk menghapus konten ilegal seperti hasutan kebencian rasial dan kegiatan kriminal.
UU itu juga akan mengharuskan perusahaan teknologi untuk mengambil langkah-langkah lebih besar dalam melindungi anak-anak dari materi berbahaya.
Platform media sosial perlu menghapus konten yang terkait dengan eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak, perilaku koersif, mendukung atau memfasilitasi bunuh diri atau menyakiti diri sendiri, kekejaman terhadap hewan, penjualan obat-obatan terlarang atau senjata, dan terorisme.
Penyedia juga perlu menerapkan sistem untuk mengurangi risiko layanan mereka digunakan untuk kegiatan ilegal.
Perusahaan yang tidak mematuhi dapat dikenakan denda hingga 18 juta poundsterling (361,2 milyar rupiah) atau 10 persen dari pendapatan global mereka, tergantung mana pendapatan yang lebih besar.
Setelah undang-undang ini berlaku, Ofcom, regulator media Inggris, akan mengawasi penegakan hukum tersebut dan mempunyai wewenang untuk mengambil tindakan terhadap perusahaan yang gagal memenuhi kewajiban baru mereka.
Ofcom juga akan meminta pertanggungjawaban perusahaan dan eksekutif senior jika platform media mereka terbukti gagal mematuhi pemberitahuan penegakan hukum terkait eksploitasi dan pelecehan seksual terhadap anak.
Regulator masih melanjutkan konsultasi publik mengenai kewajiban dari UU tersebut.
UU ini menjadi perhatian setelah adanya penikaman di kota pesisir Southport pada 29 Juli, dimana seorang remaja 17 tahun Axel Rudakubana membunuh tiga anak dan melukai 10 orang lainnya.
Peristiwa itu kemudian digunakan kelompok sayap kanan untuk memicu aksi protes lewat Telegram, TikTok dan X dengan menyebarkan berita palsu bahwa tersangka adalah seorang imigran Muslim.
Perdana Menteri Inggris Keir Starmer kemudian memperingatkan tindakan yang lebih keras jika perusahaan media sosial tidak berbuat lebih banyak untuk menghapus konten berbahaya, dan menuduh mereka memicu kekerasan yang disebarkan kelompok sayap kanan.
Juru bicara Starmer memastikan pemerintah Inggris berkonsentrasi pada "kerja sama dengan perusahaan media sosial dan memastikan mereka mengikuti tanggung jawab yang ada".
BACA JUGA:
Pemerintah juga lebih memilih "menerapkan undang-undang yang ada dengan cepat dan efektif" daripada mengubahnya, kata juru bicara itu.
"Kami tegaskan bahwa perusahaan media sosial memiliki tanggung jawab untuk memastikan tidak ada tempat bagi kebencian dan pelanggaran hukum di platform mereka, dan kami bekerja erat dengan pihak perusahaan memastikan hal itu yang terjadi," sebut juru bicara itu.
Juru bicara tersebut mengatakan pemerintah juga mendukung penegakan hukum dalam mengejar mereka yang menghasut kekerasan secara online.