Duplik Joko Tjandra: Niat Pulang ke Tanah Air Lebih Besar dari Urus PK Cessie Bank Bali
Joko Tjandra (Foto: ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Terdakwa perkara dugaan gratifikasi pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) dam suap penghapusan red notice serta DPO, Joko Tjandra melalui pengacaranya menuturkan jika niat satu-satunya hanya pulang ke Indonesia.

Bahkan, hal itu melebihi niatnya untuk mengurus Peninjauan Kembali (PK) atas kasus cessie Bank Bali. Pernyataan itu disampaikan pada saat persidangan lanjutan dengan agenda pembacaan duplik.

"Satu-satunya niat terdakwa Joko Soegiarto Tjandra adalah pulang ke tanah air yang dicintainya. Lebih daripada niatnya hendak melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) setelah action plan dia batalkan," ucap pengacara Joko Tjandra, Soesilo Aribowo dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis, 25 Maret.

Pembatalan action plan itu dengan alasan hal itu hanyalah tindak penipuan semata. Sebab, seluruh poin dalam action plan itu dianggap Joko Tjandra tak mungkin bisa dilakukan.

"Upaya hukum permohonan fatwa MA yang dijanjikan oleh saksi Pinangki Sirna Malasari tidak terwujud dan tidak lebih daripada hanya suatu penipuan belaka," kata Soesilo.

Sehingga dengan alasan tersebut, dalam duplik itu Joko Tjandra meminta majelis hakim untuk membebaskanya dari semua dakwan.

"Oleh karena itu, berdasar azas hukum universal actio non facit reum, nisi mens sit rea yang artinya suatu tindakan tidak membuat orang bersalah jika tidak ada niat atau maksud jahat," kata dia.

Joko Tjandra dituntut hukuman penjara selama empat tahun. Selain itu, Joko Tjandra juga dituntut membayar denda Rp100 juta subsider 6 bulan kurungan.

Tuntutan ini diajukan terhadap perkara suap yang menjeratnya yaitu terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung melalui Kejaksaan Agung.

Dalam perkara ini, Joko Tjandra sudah memberi uang sebesar 500 ribu dolar Amerika Serikat (AS) terhadap jaksa Pinangki Sirna Malasari melalui adik iparnya, Herriyadi Angga Kusuma, dan Andi Irfan Jaya.

Uang itu diberikan sebagai uang muka untuk rencana mengurus hukum yang dihadapinya berupa fatwa MA melalui Kejaksaan Agung.

Sementara dalam perkara penghapusan red notice, Joko Tjandra diyakini bersalah karena memberikan uang ke Brigjen Prasetijo Utomo dan Irjen Napoleon Bonaparte.

Untuk Brigjen Prasetijo diberikan uang sebesar 100 ribu dolar AS. Sedangkan, Irjen Napoleon diberikan 200 ribu dan 370 ribu dolar AS. Pemberian uang itu dilakukan melalui perantara pengusaha Tommy Sumardi.