JAKARTA - Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Agung meminta majelis hakim menolak permintaan Djoko Tjandra sidang dilakukan secara daring atau online.
Sebab, dalam surat edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2012 menyebutkan, para pemohon harus hadir dalam persidangan PK. Sehingga permintaan buronan cessie Bank Bali itu berlawanan dengan SEMA.
"Bersama dengan ini jaksa meminta majelis hakim, menyatakan, permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan Joko Soegiarto Tjandra harus dinyatakan ditolak, dan tidak dapat diterima, dan tidak diteruskan perkaranya ke Mahkamah Agung (MA)," kata Jaksa Ridwan saat membacakan tanggapan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin, 27 Juli.
Selain itu, berdasarkan aturan yang ada, kata dia, persidangan secara online hanya bisa dilakukan di beberapa tempat. Bahkan, sidang daring pun hanya diperuntukan bagi perkara perdata.
"Persidangan telekonferensi hanya bisa diselenggarakan di pengadilan negeri, kejaksaan negeri, rumah tahanan. Dan itu hanya diperbolehkan untuk tahanan, terdakwa, atau saksi. Bukan PK terpidana," katanya.
BACA JUGA:
Sebelumnya, Kuasa hukum Djoko Tjandra, Andi Putra Kusuma meminta, majelis hakim menggelar sidang PK perkara pengalihan hak tagih utang Bank Bali secara online.
Hal itu karena Djoko sedang sakit dan tak bisa mengikutinya secara langsung. Di tambah, saat ini sedang memasuki kenormalan baru di masa pandemi COVID-19. Sehingga, permintaan persidangan secara online ini mesti dikabulkan dan proses hukum tetap berjalan dengan baik.
Adapun Djoko Tjandra mendaftarkan peninjauan kembali (PK) terkait kasusnya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Juni.
Namun, selama 3 kali persidangan yang digelar pada 29 Juni, 6 Juli, dan 20 Juli, buronan itu tak pernah hadir dengan alasan sakit. Pihak kuasa hukum Djoko menyebut jika kliennya sedang berada di Kulala Lumpur, Malaysia dalam rangka pengobatan.
Djoko Tjandra merupakan buronan kasus pengalihan hak yang mengakibatkan terjadinya pergantian kreditur Bank Bali senilai Rp904 miliar yang ditangani Kejaksaan Agung.
Kejaksaan pernah menahan Joko Tjandra pada 29 September 1999 hingga Agustus 2000. Namun, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan ia bebas dari tuntutan karena perbuatannya bukan pidana melainkan perdata.
Selain itu, Kejaksaan mengajukan PK terhadap kasus Djoko ke Mahkamah Agung pada Oktober 2008. Akhirnya, majelis hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara terjadap Djoko Tjandra dan harus membayar Rp15 juta. Uang milik Joko di Bank Bali Rp546,166 miliar pun dirampas negara.