Bagikan:

JAKARTA - Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi angkat bicara terkait sikap Rumah Sakit Tugu Ibu Depok, Jawa Barat soal penanganan medis balita AK (1,5), korban penganiayaan ibu kandung, di Jagakarsa, Jakarta Selatan. 

Sebagaimana diketahui, pihak keluaga korban mengaku bahwa penanganan medis balita AK sempat terkendala BPJS. 

Pria yang disapa Kak Seto ini berpendapat, seharusnya pihak rumah sakit lebih mendahulukan kepentingan nyawa orang lain, terlebih anak kecil. Karena hal itu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

“Apalagi ini anak. Ini kan masalah otak, ini rawan sekali. Hanya gara-gara tidak ditangani akhirnya meninggal. Apakah itu suatu tindakan yang berlawanan dengan Pancasila, Kemanusian Yang Adil dan Beradab,” kata Kak Seto saat dikonfirmasi VOI, Jumat, 9 Agustus.

Seto mengaku akan mengadu kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait peristiwa ini.

“Ya, kami akan sampaikan. Kalau ada pertemuan dengan Menkes. Kami akan menyampaikan kasus seperti ini,” ucapnya.

Apabila pihak rumah sakit mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) Pasal 52 Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Maka seharusnya pihak rumah sakit mencari solusi yang akhirnya korban mendapatkan pelayanan untuk dilakukan tindakan medis.

“Mohon juga ada perintah kepada rumah sakit agar jangan terlalu kaku. Yang paling penting keselamatan korban jiwa. Apalagi ini anak ya, siapa tahu ini anak jadi pemimpin bangsa dan sebagainya,” ujarnya.

Kak Seto menyesalkan tindakan yang dilakukan pihak rumah sakit yang justru diduga melakukan kelalaian hingga akhirnya balita AK yang berusia 1,5 tahun itu tewas.

“Kami yang konsentrasi kepada perlindungan anak, menyesalkan pihak rumah sakit yang menolak hanya karena itu korban kekerasan,” tutupnya.

Sebelumnya, seorang balita inisial AK berusia 1,5 tahun dibanting ibu kandungnya di rumah kontrakannya, Srengseng, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Balita AK dibawa ke RS Tugu Ibu Depok.

Andrea, salah satu anggota keluarga korban menerangkan bila korban dibawa ke RS Tugu Ibu Depok. Namun, kata Andrea, sempat terkendala di BPJS.

“Kita sempat ke rumah sakit terdekat. Pertama kita bawa di Aulia tidak diterima, Rumah Sakit Andika. Langsung ada yang bilang Rumah Sakit Tugu Ibu yang di Depok. Setelah sampai sana, sekitar jam 9 set 10 lah, sampai sana. UGD diperiksa dulu. Namanya anak, kita minta ditindak. Ternyata tidak ada tindakan, dia pertama minta 3 juta. Sudah begitu, besoknya periksa-periksa lagi, diangkat Rp20 juta.

“Dia minta angka segitu, karena ada retak di belakang otaknya, agak berat. Tapi maksud saya coba ditindak dulu, kalau masalah uang. Mungkin kita dari pihak keluarga bisa dicari-cari, kan gitu. Tapi tidak bisa BPJS. BPJS pun dimentahin juga katanya dalam kekerasan, tidak bisa pakai BPJS. Kita dari keluarga yang bener-bener tidak paham. Uang tidak ada, ya gimana ya, kita tetap mencari solusi. Sampai tengah hari jam 12 masih tidak bisa-bisa juga. Malah kita dioper, sampai menjelang sore jam 4 almarhum sudah tidak ada nyawanya.” cerita Andrea kepada VOI.

Sementara itu, seorang perempuan dari Rumah Sakit Tugu Ibu Depok yang tak ingin disebutkan namanya, menjelaskan bila pihaknya mengacu peraturan dan persyaratan sebelum mengambil tindakan. Dikatakan juga olehnya bila korban penganiayaan tidak ditanggung oleh BPJS.

“Ada 21 kejadian yang tidak ditanggung oleh BPJS. Peraturan Presiden soal BPJS. Di situ salah satunya memang karena penganiayaan tidak ditanggung BPJS. Kita kan mengikuti peraturan.” ucapnya.