JAKARTA - Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menjelaskan penyebab defisit anggaran Rp317,36 miliar dalam laporan keuangan pada tahun 2023.
Anggota Badan Pelaksana BPKH Bidang Keuangan Amri Yusuf menjelaskan, hal ini terjadi karena adanya kebijakan biaya penyelenggaraan ibadah haji (bipih) yang dinamis dalam beberapa tahun terakhir akibat pandemi COVID-19.
"Kebijakan ini bertujuan meringankan beban jemaah, terutama jemaah lunas tunda," kata Amri di Jakarta, Kamis, 1 Agustus.
Amri menjelaskan, sumber pembiayaan untuk jemaah lunas tunda diambil dari aset neto berupa akumulasi nilai manfaat yang tidak digunakan pada musim haji 2020 dan 2021. Serta tahun 2022 kuota keberangkatan jemaah hanya sebesar 50 persen.
"Dengan kata lain, defisit yang dialami bukan karena pengelolaan keuangan yang kurang baik tetapi efek dari keputusan pemerintah dan DPR untuk mendukung jemaah lunas tunda 2020 dan 2022, yang secara akuntansi dicatatkan sebagai beban tahun berjalan 2023," urai dia.
BACA JUGA:
Amri menerangkan, BPKH mengelola tiga skema bipih untuk memastikan bahwa beban jemaah pada tahun 2023 dapat diminimalisasi.
Pertama, jemaah lunas tunda tahun 2020 tak dikenakan tambahan Bipih sebanyak 84.609 jemaah. Lalu, jemaah lunas tunda 2022 sebanyak 9.864 jemaah yang tidak berangkat karena pandemi hanya dikenakan Bipih 40 persen dari BPIH. Kemudian, jemaah 2023 sebanyak 106.590 jemaah membayar 55 persen dari BPIH.
“Jemaah lunas tunda 2022 dikenakan Bipih 40 persen dari total BPIH (Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji) yang artinya mendapatkan subsidi nilai manfaat sebesar 60 persen," urai Amri.
"Sementara jemaah haji 2023 dikenakan Bipih 55 persen dari BPIH dengan subsidi nilai manfaat sebesar 45 persen. Sementara jemaah 2020 tidak dikenakan tambahan Bipih," lanjutnya.