JAKARTA - Polisi Kenya melarang demonstrasi di jantung ibu kota Nairobi setelah berminggu-minggu protes anti-pemerintah yang dituding polisi disusupi geng kriminal terorganisir.
Tercatat 50 orang tewas dalam protes yang dipimpin oleh kaum muda terhadap usulan kenaikan pajak yang terjadi di seluruh negeri sebulan yang lalu.
Demonstrasi terus berlanjut bahkan setelah Presiden Kenya William Ruto mencabut undang-undang tersebut dan memecat hampir seluruh kabinetnya.
Para aktivis mengatakan mereka ingin Ruto mengundurkan diri dan menyerukan perubahan sistemis untuk memberantas korupsi dan mengatasi buruknya tata kelola pemerintahan.
“Kami memiliki informasi intelijen yang dapat dipercaya bahwa kelompok kriminal terorganisir berencana memanfaatkan protes yang sedang berlangsung untuk melakukan serangan termasuk penjarahan,” kata Douglas Kanja Kiricho, kepala polisi dilansir Reuters, Kamis, 18 Juli.
“Demonstrasi tidak diperbolehkan di kawasan pusat bisnis Nairobi dan sekitarnya sampai pemberitahuan lebih lanjut untuk memastikan keselamatan publik,” imbuh dia.
Protes tersebut, yang diorganisir secara online tanpa dukungan nyata dari tokoh politik oposisi, menciptakan krisis terbesar dalam dua tahun kekuasaan Ruto.
Demonstrasi dimulai dengan damai namun kemudian berubah menjadi kekerasan. Beberapa demonstran sempat menyerbu parlemen pada tanggal 25 Juni, dan polisi melepaskan tembakan.
BACA JUGA:
Kantor Ruto merencanakan pembicaraan “multi-sektoral” pada pekan ini untuk mengatasi keluhan para pengunjuk rasa, namun pada Kamis belum ada tanda-tanda pembicaraan tersebut akan dimulai.
Sebagian besar tokoh di balik protes tersebut menolak undangan tersebut, dan malah menyerukan tindakan segera terhadap isu-isu seperti korupsi.
Beberapa aktivis menyampaikan seruan agar masyarakat berkumpul dengan perlengkapan berkemah di Taman Uhuru, sebuah kawasan rekreasi yang berdekatan dengan pusat kota Nairobi.
Ada banyak polisi yang hadir di kota itu pada Kamis pagi, kata seorang reporter Reuters.
“(Polisi dan Presiden Ruto) tidak mempunyai kekuasaan untuk menangguhkan hak-hak yang dijamin oleh konstitusi,” tulis aktivis Boniface Mwangi di platform media sosial X sebagai tanggapan terhadap larangan protes.