Sertifikat Vaksinasi COVID-19 Jadi Syarat Pelaku Perjalanan Saat Ini, Apakah Penting?
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Juru Bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito menyebut penggunaan sertifikat vaksin COVID-19 sebagai syarat bagi pelaku perjalanan masih dalam kajian. Hal ini sekaligus menanggapi pernyataan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang menyebut hal ini sangat mungkin diterapkan.

Melalui konferensi pers secara daring yang ditayangkan di akun YouTube Sekretariat Presiden, Wiku menjelaskan, pengunaan sertifikat ini masih wacana karena perlu studi lebih lanjut.

"Sampai dengan saat ini hal tersebut masih wacana," kata Wiku, Kamis, 18 Maret.

Studi ini, sambungnya, harus dilakukan karena hingga saat ini efektivitas vaksin untuk menciptakan kekebalan individu bagi penerimanya masih terus dipelajari.

"Apabila sertifikasi tersebut dikeluarkan tanpa studi yang membuktikan bahwa kekebalan individu telah tercipta, maka pemegang sertifikat (tetap, red) memiliki potensi tertular atau menularkan virus COVID-19 selama melakukan perjalanan," tegasnya.

Adapun wacana ini awalnya disampaikan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI. Meski bisa dicanangkan, namun, dia tak menampik hal ini masih jadi perdebatan di kalangan epidemiolog.

Dia mengatakan, epidemiolog bahkan menyarankan syarat ini tak dicanangkan saat ini tapi nanti, ketika masyarakat yang menerima vaksin COVID-19 sudah mencapai 30-40 persen dari total populasi.

"Saya terus terang pernah mengucapkan ini di awal saya pertama kali menjadi Menkes. Tapi itu memicu perdebatan di kalangan epidemiologis. Saya bicara ke mereka dan mereka bilang walaupun divaksin itu tadi, belum ada jaminan dia tidak bisa terkena dan tidak bisa menularkan," ungkap Budi saat itu.

Pentingkah aturan ini dibuat?

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman mengatakan, penggunaan sertifikat vaksin COVID-19 sebagai syarat pelaku perjalanan memang bisa dibuat. Tapi, dia menilai, hal ini tak perlu dilakukan saat ini mengingat pemberian vaksin di tengah masyarakat masih belum begitu masif.

“Baru kurang dari dua persen penduduk Indonesia yang divaksin,” kata Dicky saat dihubungi VOI.

Jika memang aturan ini dipaksakan untuk dilakukan saat ini, dia khawatir, hal ini justru menimbulkan diskriminasi di tengah masyarakat. “Kecuali sudah lebih dari 30-40 persen (pemberian vaksin, red), itu cukup lah dasarnya,” tegasnya.

“Tapi kalau masih kurang dua persen, kita jadi negara yang tidak adil dan asas kesetaraan tidak tercapai,” imbuhnya.

Lagipula, dia menilai, sertifikat vaksinasi ini seharusnya tak menggugurkan pentingnya penyertaan surat bebas COVID-19 bagi para pelaku perjalanan. 

Menurutnya, pengujian COVID-19 harusnya menjadi hal penting terutama bagi mereka yang kerap berpergian. Apalagi, virus COVID-19 bisa bermutasi menjadi lebih cepat menular.

Lagipula, cara ini juga belum direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO), meski ada beberapa negara Eropa yang mulai menerapkan penyertaan sertifikat vaksin melengkapi surat bebas COVID-19.

Sehingga, dirinya menyebut, penggunaan sertifikat vaksin sebagai syarat bagi pelaku perjalanan tak perlu diterapkan dalam waktu dekat. “Banyak minusnya kalau ini diberlakukan sekarang, karena belum banyak yang divaksin,” ujarnya.

“Selain itu, nanti ada rasa aman semu yang harus diluruskan. Karena mereka yang divaksin masih bisa berpotensi terpapar dan menyebar virus, apalagi kalau dia tak mematuhi protokol kesehatan,” pungkasnya.