Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan eks Sestama Basarnas yang juga Kepala Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) PDIP Max Ruland Boseke pada hari ini. Dia ditahan selama 20 hari pertama dan bisa diperpanjang sesuai kebutuhan penyidik.

“Terhitung sejak tanggal 25 Juni 2024 sampai dengan 14 Juli 2024. Penahanan dilakukan di Rutan Cabang KPK,” kata Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan.

Penahanan juga dilakukan terhadap dua tersangka lain. Mereka adalah Anjar Sulistiyono yang merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang juga Kasubdit Pengawakan dan Perbekalan Direktorat Sarana dan Prasarana Basarnas dan William Sidarta yang merupakan Direktur CV Delima Mandiri.

Asep memerinci kasus ini berawal saat Basarnas mengajukan usulan Rencana Kerja Anggaran dan Kementerian (RKA-K/L) berdasarkan Rencana Strategis Badan SAR Nasional 2010-2014. “Salah satunya Pengadaan Truk Angkut Personil 4 WD sebesar Rp47, 6 miliar dan Rescue Carrier Vehicle sebesar Rp48,7 miliar,” jelasnya.

Kemudian digelar rapat secara tertutup dihadiri Kabasarnas yang menjabat saat itu Marsdya Henri Alfiandi. Setelah DIPA Basarnas ditetapkan Max kemudian memberikan daftar calon pemenang kepada Anjar selaku PPK.

“Termasuk pekerjaan pengadaan truk angkut personil 4 WD dan Rescue Carrier Vehicle yang akan dimenangkan oleh PT TAP (Trikarya Abadi Prima) yaitu perusahaan yang dikuasai dan dikendalikan oleh saudara WLW, CV DLM,” tegas Asep.

Adapun pengadaan itu menggunakan harga perkiraan sendiri (HPS) yang telah disusun pegawai William, Riki Hansyah. “Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pasal 66 Ayat 7 bahwa penyusunan didasarkan pada data harga pasar setempat yang diperoleh berdasarkan hasil survei menjelang dilaksanakan pengadaan,” jelas Asep.

Selanjutnya, perusahaan milik William yang salah satunya adalah PT TAP memenangkan pengadaan truk di Basarnas itu. Kata Asep, telah terjadi persekongkolan di dalamnya yang ternyata terdapat kesamaan IP Address peserta, surat dukungan hingga dokumen teknis dari perusahaan itu dengan PT ORM dan PT GIM.

Dari proses ini, Max kemudian menerima uang sebesar Rp2,5 miliar dalam bentuk ATM dan slip tarik tunai dari William. Dia kemudian memakai uang itu untuk membeli ikan hias dan belanja kebutuhan pribadi lainnya.

Akibat perbuatan para tersangka, negara kemudian merugi hingga Rp20,4 miliar. Mereka kemudian disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.