Bagikan:

JAKARTA - Terbatasnya bangku sekolah negeri di Jakarta masih dikeluhkan masyarakat setiap pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB). Banyak orang tua yang mengeluh anaknya tak lulus sekolah negeri dan terpaksa mendaftar di sekolah swasta.

Dorongan untuk mewujudkan sekolah gratis, khususnya pada sekolah swasta terus bergulir. Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Azis Muslim menegaskan, tidak semua wilayah Jakarta tersedia sekolah negeri. Keterbatasan sekolah negeri di Jakarta harus dibantu dengan sekolah swasta yang gratis.

“Di wilayah masing-masing artinya RT, RW, maupun kelurahan belum tentu ada sekolah negeri, baik itu SD, SMP, maupun SMA. Artinya, dalam satu kelurahan saja belum tentu memiliki sekolah negeri. Sementara yang ingin masuk ke sekolah negeri itu banyak,” kata Azis dalam keterangannya, Rabu, 19 Juni.

Menurut AziS, syarat zonasi dalam PPDB juga selalu menjadi masalah warga Jakarta pada saat penerimaan siswa baru. Karena itu, sekolah gratis di seluruh sekolah menghilangkan kendala jarak tempuh bagi siswa sekolah.

"Saya yakin kalau sekolah gratis itu terjadi, tidak ada ribut-ribut lagi PPDB di Jakarta,” ujarnya.

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Golkar Basri Baco menegaskan, usulan biaya pendidikan gratis tidak diterapkan untuk semua sekolah swasta. DPRD mengusulkan hanya siswa di sekolah swasta grade C dan D yang digratiskan. Sebab, menurut dia, seluruh siswa di sekolah tersebut merupakan kalangan tidak mampu.

"Fakta hari ini, 50 persen di (sekolah) negeri itu orang mampu dan gratis. Sedangkan di swasta sekolah yang grade C dan D 100 persennya orang yang tidak mampu dan bayar. Jadi sangat tidak adil," ungkap Baco.

Baco menjelaskan, alasan usulan sekolah gratis di Jakarta khususnya pada lembaga pendidikan swasta ditengarai dari banyaknya kasus ijazah-ijazah yang ditahan di sekolah lantaran siswa tersebut tak bisa melunasi biaya pendidikannya.

Menurutnya, anggaran sekolah gratis bisa dialokasikan oleh Pemprov DKI dengan mengalihkan dana penyaluran bantuan pendidikan Kartu Jakarta Pintar (KJP). Lagipula, Baco memandang, dari pengalihan anggaran penyaluran KJP menjadi sekolah gratis, bantuan pendidikan tak lagi menuai kisruh karena sasaran yang tidak tepat.

"Faktanya itu banyak sekali masalah terkait KJP. Tidak tepat sasaran, tidak adil, dan tidak merata. Daripada begitu, mending kita bikin gratis aja sekalian," jelas Baco.

"Jadi, sekolah negeri pakai PPDD bagi yang rumahnya deket. Bagi yang pintar, punya prestasi, dan miskin itu dengan kuota juga bisa di sekolah negeri. Lalu yang tidak di sekolah negeri, silakan cari sekolah swasta yang dekat rumah dan nggak perlu bayar," lanjutnya.

Baco melanjutkan, selisih anggaran sekolah gratis untuk swasta grade C dan D juga tidak terpaut jauh dengan dana KJP. Paling banyak, Pemprov DKI hanya perlu menambah anggaran Rp1 triliun.

"Contoh, KJP kita habisnya berapa? Rp4 triliun. Ini mungkin tinggal menambah jadi Rp4 triliun 800 juta atau Rp5 triliun, tapi urusan selesai. Lo mau anak siapa, lo mau tinggal dimana, status lo apa, selama lo ingin sekolah, bisa sekolah," imbuhnya.

Sementara itu, Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Purwosusilo mengaku pihaknya tengah mengkaji usulan kebijakan sekolah gratis yang diungkapkan DPRD DKI.

"(Usulan) sekolah gratis, sedang dalam kajian," tutur Purwosusilo.

Namun, Purwosusilo menegaskan jika sekolah gratis diterapkan di Jakarta, konsekuensinya Pemprov DKI pasti akan menghapus penyaluran KJP. "Sepertinya kalau nanti sekolah gratis, maka tidak ada lagi yang namanya bansos itu (KJP)," ungkap Purwosusilo.