JAKARTA - Puluhan ribu warga minoritas Muslim Rohingya, yang dikhawatirkan terjebak di tengah pertempuran di Myanmar barat, tidak punya tempat untuk melarikan diri, kata kepala HAM PBB Pada Hari Selasa.
Tentara Arakan, yang memperjuangkan otonomi bagi wilayah Rakhine di Myanmar, mengatakan pada Minggu malam, penduduk Kota Maungdaw, yang sebagian besar dihuni oleh warga Rohingya, harus pergi paling lambat pukul 9 malam sebelum serangan yang direncanakan.
"Saya sangat prihatin dengan situasi di Maungdaw. Tentara Arakan akhir pekan ini memberi peringatan kepada semua penduduk yang tersisa, termasuk populasi Rohingya, untuk mengungsi," kata Komisaris Tinggi PBB untuk HAM Volker Turk kepada Dewan HAM PBB di Jenewa, dilansir Reuters 18 Juni.
"Tetapi warga Rohingya tidak punya pilihan. Tidak ada tempat untuk melarikan diri," tandasnya.
Warga Rohingya telah menghadapi penganiayaan di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha selama beberapa dekade. Hampir satu juta dari mereka tinggal di kamp pengungsian di distrik perbatasan Bangladesh, Cox's Bazar, setelah melarikan diri dari tindakan keras yang dipimpin militer di Negara Bagian Rakhine di pantai barat pada tahun 2017.
Serangan Tentara Arakan di Maungdaw adalah yang terbaru dalam serangan pemberontak selama berbulan-bulan terhadap junta Myanmar, yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta Februari 2021 dan mendapati posisinya semakin melemah di sebagian besar wilayah negara itu.
BACA JUGA:
Sekitar 70.000 Rohingya di Maungdaw terjebak saat pertempuran semakin dekat, Aung Kyaw Moe, wakil menteri hak asasi manusia dalam Pemerintah Persatuan Nasional bayangan, mengatakan kepada Reuters pada Hari Senin.
"Kami tidak punya tempat tujuan, tidak ada zona aman, tidak cukup makanan dan kebutuhan pokok," kata seorang penduduk Maungdaw yang menolak disebutkan namanya karena alasan keamanan
"Jika mereka memaksa kami pergi, kami tidak akan punya tempat untuk bermigrasi," tambahnya.