JAKARTA - Puluhan ribu minoritas Muslim Rohingya dikhawatirkan terperangkap dalam pertempuran di Myanmar barat, ketika kelompok etnis bersenjata yang kuat menyerang posisi junta di sebuah kota pesisir di perbatasan negara itu dengan Bangladesh.
Tentara Arakan (AA), yang memperjuangkan otonomi untuk wilayah Rakhine Myanmar, mengatakan, penduduk kota Maungdaw, yang sebagian besar dihuni oleh Rohingya, harus pergi pada pukul 9 malam sebelum serangan yang direncanakan terhadap permukiman tersebut.
Serangan AA terhadap Maungdaw adalah yang terbaru dalam serangan pemberontak selama berbulan-bulan terhadap junta Myanmar, yang mengambil alih kekuasaan dalam kudeta Februari 2021, dan sekarang menemukan dirinya dalam posisi yang semakin lemah di sebagian besar negara.
"Kami akan menyerang pos-pos junta yang tersisa", kata AA dalam sebuah pernyataan, meminta penduduk untuk menjauhi posisi militer di Maungdaw demi keselamatan mereka sendiri dikutip dari Reuters, Senin, 17 Juni.
Seorang juru bicara junta tidak menanggapi panggilan untuk meminta komentar.
Sekitar 70.000 warga Rohingya yang saat ini berada di Maungdaw terperangkap saat pertempuran semakin dekat, kata Aung Kyaw Moe, wakil menteri hak asasi manusia di
Pemerintahan Persatuan Nasional bayangan Myanmar.
"Mereka tidak punya tempat untuk lari," katanya kepada Reuters.
Ribuan warga Rohingya melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh bulan lalu, mencari keselamatan dari konflik yang meningkat, meskipun negara tetangga itu enggan menerima lebih banyak pengungsi.
Pergerakan mereka dipicu oleh pertempuran di dalam dan sekitar kota Buthidaung, sekitar 25 km (15 mil) di sebelah timur Maungdaw, yang direbut oleh AA setelah pertempuran sengit di mana kelompok pemberontak dituduh menargetkan komunitas Rohingya.
BACA JUGA:
AA membantah tuduhan tersebut. Rohingya telah menghadapi penganiayaan di Myanmar yang mayoritas beragama Buddha selama beberapa dekade. Hampir satu juta dari mereka tinggal di kamp-kamp pengungsian di distrik perbatasan Bangladesh di Cox's Bazar setelah melarikan diri dari tindakan keras pimpinan militer di Rakhine pada 2017.