Bagikan:

JAKARTA - Warga Rohingya yang tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar barat, tak bisa mencapai akses bantuan kemanusiaan dan tempat yang aman setelah badai Siklon Mocha menerjang daerah itu. Alasannya, kewarganegaraan mereka dicabut pada 1982, kata seorang aktivis hak asasi manusia (HAM).

Nay San Lwin, aktivis HAM dan pendiri Koalisi Pembebasan Rohingya, berkata kepada Anadolu sebagaimana dilansir ANTARA, Kamis, 1 Juni, sekitar 130 ribu pengungsi terdampak bencana yang terjadi di Myanmar itu. Bukan hanya itu, sejumlah warga Rohingya juga dinyatakan hilang akibat bencana tersebut.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut Rohingya "minoritas paling teraniaya di dunia" setelah badai itu merenggut 400 orang tewas dan menciptakan kerusakan besar.

"Tanpa kewarganegaraan Myanmar, mereka mirip pasien yang lumpuh. Warga Rohingya di Myanmar tidak akan pernah mendapatkan kesempatan yang sama dengan suku-suku lain di Myanmar karena tidak memiliki kewarganegaraan," kata Lwin.

Lwin mengatakan militer berusaha menyingkirkan warga Rohingya Myanmar sampai lebih dari satu juta pengungsi Rohingya mengungsi di Bangladesh.

"Junta tidak berniat mengembalikan baik kewarganegaraan Rohingya maupun melindungi hak mendasar manusia," imbuh Lwin.

Menurut dia, warga Rohingya  menunggu bantuan kemanusiaan, tapi tak tahu pasti kapan bantuan sampai kepada mereka.

Sembari menuding junta sengaja membiarkan korban jiwa saat terjadi bencana itu, dia menegaskan andaikan junta membolehkan evakuasi warga Rohingya sehari sebelum badai, maka jumlah korban tewas akan sedikit.

Junta Myanmar baru memerintahkan warga Rohinya meninggalkan kamp mereka beberapa jam sebelum badai itu menerjang dan itu pun tanpa menyediakan alat transportasi atau tempat yang aman, kata dia.

"90 persen kamp pengungsi hancur. Ratusan warga Rohingya tewas, dan banyak yang hilang. Tantangannya besar sekali. Mereka sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan, namun junta tidak memberikan akses kepada organisasi internasional untuk mencapai wilayah-wilayah terdampak," kata Lwin.

Dia menegaskan semua warga Rohingya yang tinggal di ibukota Rakhine, Sittwe,  terdampak badai. Mereka sudah terkurung di kamp sejak 2012.

"Kamp-kamp itu mirip kamp konsentrasi. Warga Rohingya tidak diizinkan keluar dari kamp," kata dia.  Padahal, mereka sudah mendiami kamp-kamp tersebut selama 11 tahun.

"Junta tak mau menunjukkan simpati. Rohingya tak akan diizinkan kembali ke tempat asal mereka yang dipaksa ditinggalkan pada 2012," tambah dia.

Lwin mendesak masyarakat internasional untuk bertindak.

Pada 2017, ratusan ribu warga Rohingya meninggalkan Myanmar menghindari tindakan brutal militer Myanmar terhadap minoritas Muslim di bagian utara negara itu.

Sudah 1,2 juta warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh untuk mendiami kamp pengungsi terbesar di dunia di Cox Bazaar.