Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah China menegaskan kini sudah mengaktifkan aturan bagi Garda Penjaga Pantai China (China Coast Guard) untuk menggunakan kekuatan persenjataan terhadap semua kapal asing yang menolak meninggalkan perairan Tiongkok.

"Peraturan ini dikeluarkan oleh Penjaga Pantai China untuk menegakkan peraturan Penjaga Pantai China, menstandardisasi prosedur penegakan hukum administratif penjaga pantai dan menegakkan ketertiban di laut dengan lebih baik," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian dalam konferensi pers rutin di Beijing, China pada Senin, dilansir dari ANTARA, Sabtu 18 Juni.

Undang-undang yang sudah diterbitkan sejak 2021 itu mengatur soal izin bagi penjaga pantai China yang dapat menembaki kapal asing, menghancurkan bangunan negara lain yang didirikan di atas terumbu karang yang diklaim milik China dan hak untuk memeriksa kapal asing di perairan yang disebut kepemilikan China.

"Peraturan tersebut konsisten dengan praktik universal. Mengenai isu-isu terkait Laut China Selatan, pemerintah berupaya menangani perbedaan dan perselisihan dengan baik melalui negosiasi dan konsultasi dengan negara-negara terkait, dan pada saat yang sama secara tegas menanggapi setiap pelanggaran dan tindakan provokatif di laut," tambah Lin Jian.

Dalam penerapannya, Garda Penjaga Pantai China pada Senin (17/6) waktu setempat menuduh kapal pasokan Filipina mengabaikan peringatan dari dan mendekati kapal patroli Beijing secara tidak profesional sehingga menyebabkan tabrakan.

"Pada 17 Juni, satu kapal pemasok dan dua 'speed boat' Filipina, tanpa izin dari pemerintah China menyusup ke perairan dekat Ren'ai Jiao di Nansha Qundao untuk mengirim material, termasuk pekerja konstruksi, material ke kapal militer yang berlabuh secara ilegal di Ren'ai Jiao," ungkap Lin Jian.

Sehingga, Garda Penjaga Pantai China mengambil tindakan pengendalian yang diperlukan untuk menghentikan kapal-kapal Filipina sesuai dengan hukum.

"Manuver di tempat kejadian bersifat profesional, terkendali, dapat dibenarkan dan sah. Hal itu konsisten dengan praktik universal," tegas Lin Jian.

Pemerintah China mengklaim memiliki hak kedaulatan dan yurisdiksi atas kepulauan yang disebut "Nanhai Zhudao" di Laut China Selatan yaitu terdiri dari Dongsha Qundao, Xisha Qundao, Zhongsha Qundao dan Nansha Qundao atau lebih dikenal sebagai Kepulauan Pratas, Kepulauan Paracel, Kepulauan Spratly dan area Tepi Macclesfield.

Pulau karang itu disebut China dengan nama "Ren'ai Jiao", sedangkan oleh Filipina sebagai "Beting Ayungin" merupakan bagian dari Kepulauan Spratly yang disengketakan kedua negara, selain juga beberapa negara Asia Tenggara lainnya.

Laut China Selatan hingga saat ini masih menjadi titik panas permasalahan di kawasan karena China mengklaim hampir seluruh perairan di Laut China Selatan. Sejumlah negara anggota ASEAN yaitu Brunei Darussalam, Malaysia, Vietnam, dan Filipina juga mengklaim wilayah tersebut.

Filipina menempatkan kapal perang BRP Sierra Madre sebagai "markas terapung" bagi penjaga pantai Filipina di terumbu karang tersebut sejak 1999 dan mengirim orang untuk mengisi perbekalan di markas terapung tersebut.