Bagikan:

JAKARTA - Alasan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menaikkan status COVID-19 menjadi pandemi, karena virus ini telah menyebar secara global. Tak terkecuali di negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS). 

Sejak merebaknya wabah ini, AS mulai mendapati kasus pertama virus corona pada 21 Januari 2020. Di mana seorang pria positif terinveksi COVID-19 setelah melakukan perjalanan dari China.

Pada 1 Maret, AS mengumumkan kasus pertama meninggalnya seseorang karena COVID-19. Korban tersebut merupakan warga Washington DC dan diketahui tidak pernah melakukan perjalanan ke negara-negara yang memiliki kasus COVID-19.

Dilansir dari CNN, setidaknya 87 orang dinyatakan tewas akibat COVID-19 di AS. Sebanyak 48 koban tewas di antaranya berada negara bagian Washington, 11 di California, masing-masing lima di New York dan Florida, masing-masing tiga di Louisiana dan New Jersey, dua di Virginia, dan masing-masing di Colorado, Georgia, Indiana, Kansas, Kentucky, Nevada, Oregon, Carolina Selatan, Dakota Selatan dan Texas

Para pejabat kesehatan memperkirakan jumlah kasus akan terus meningkat, seiring dengan banyaknya orang yang melakukan tes COVID-19. Di kabarkan pula ada warga AS yang positif COVID-19 saat menjadi penumpang kapal pesiar Diamond Princess, yang kini berlabuh di Jepang untuk dikarantina. 

llustrasi pengujian sampel COVID-19 di Indonesia (Irvan Meidianto/VOI)

Uji Coba Vaksin 

Tidak tinggal diam, AS melakukan berbagai cara dalam upaya mengentaskan COVID-19, termasuk membuat vaksin. AS kini memulai uji coba vaksi COVID-19 pertamanya kepada manusia. Relawan pertama menerima dosis percobaan pada Senin 16 Maret 2020. 

Otoritas kesehatan AS mengatakan bahwa dibutuhkan waktu selama satu tahun hingga 18 bulan untuk sepenuhnya memvalidasi potensi sebuah vaksin. Di mana pengujian vaksin ini dilakukan terhadap 45 sukarelawan muda dan sehat dengan dosis suntikan berbeda yang dikembangkan oleh NIH dan Moderna Inc. 

Meski begitu tidak menutup kemungkinan para relawan ini dapat terinfeksi COVID-19 selama menjalani tes. Namun hal itu tetap harus dilakukan untuk memeriksa bahwa vaksin tersebut tidak menunjukkan efek samping yang mengkhawatirkan dan menyiapkan untuk tes yang lebih besar.

AS-China yang Saling Menyalahkan 

Presiden AS Donald Trump tak luput mengikuti tes COVID-19, dan hasilnya negatif. Tim medis Gedung Putih merilis memo bahwa Trump tidak memiliki gejala COVID-19 dan proses karantina tidak diperlukan, sekali pun dia pernah melakukan kontak dengan Presiden Brasil yang kini positif terinfeksi virus corona.

Tak hanya tidak khawatir terkena COVID-19, Trump juga sempat menyinggung China lewat Twitter resminya.  Trump menyebut COVID-19 dengan 'virus China' yang meningkatkan perdebatan diplomatik AS-China yang semakin dalam karena wabah tersebut.

Sementara juru bicara kementerian luar negeri China, Geng Shuang, mengatakan bahwa Trump harus mengurus masalahnya sendiri terlebih dahulu. 

"Beberapa politisi AS telah mencoba untuk menstigmatisasi China... yang China kutuk dengan keras. Kami mendesak AS untuk menghentikan praktik tercela ini. Kami sangat marah dan sangat menentangnya," ujar Geng Shuang, dikutip dari The Guardian

Sejak lama AS-China saling menyalahkan atas terjadinya wabah COVID-19. Pekan lalu, Zhao Lijian, pejabat kementerian luar negeri China menuduh militer AS membawa virus ke Wuhan. AS lalu memanggil duta besar China Cui Tiankai atas komentar tersebut dan mengeluarkan peringatan "keras" kepada Cui.

Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo, juga menyampaikan keberatannya saat melakukan panggilan telepon dengan diplomat China Yang Jiechi. Sebaliknya, Yang Jiechi juga menyampaikan "keberatan keras" terhadap AS karena memfitnah dan mencoreng upaya China dalam memerangi COVID-19.