Bagikan:

JAKARTA - Bendahara Umum DPP Projo Panel Barus menganggap pernyataan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto tentang utang pemerintah dangkal dan menyesatkan. Menurut Panel, cara mengukur utang yang paling obyektif harus dibandingkan dengan ukuran ekonomi negara tersebut atau debt to GDP ratio.

"Berdasarkan statistik utang luar negeri Indonesia, angka debt to GDP ratio Indonesia saat ini 29,6%, lebih rendah dari angka saat Jokowi baru menjabat pada 2014 sebesar 32,9%. Artinya Jokowi akan meninggalkan jabatan setelah berhasil menurunkan debt to GDP ratio," ujar Panel Barus, Jumat 5 April.

Panel merespons Hasto yang menyatakan kemajuan yang dihasilkan Presiden Jokowi dilakukan melalui beban utang yang sangat besar. Menurut Hasto, utang pemerintah saat ini hampir mencapai US$ 196 miliar, dan belum termasuk utang BUMN yang mencapai US$ 220 miliar.

Hasto bahkan berpandangan, jika kedua utang itu digabung, Indonesia berpotensi menghadapi masalah serius. Dia mengaku semakin khawatir karena praktik nepotisme justru kian menguat.

Atas pernyataan Hasto tersebut, Panel menjelaskan angka debt to ratio Indonesia bila dibandingkan dengan negara-negara se kawasan termasuk paling rendah. Malaysia sebesar 64,3%, Singapura 168%, Thailand 54,3%, Filipina 60,3%, dan Vietnam 42,8%. Di Asia Pasifik, rata-rata rasio debt to GDP adalah 86,8%.

"Bila melihat perbandingan debt to GDP ratio dengan negara se kawasan, Indonesia sebenarnya masih memiliki ruang untuk berutang. Namun, nyatanya rasio ini malah semakin menurun selama 10 tahun terakhir. Artinya pengelolaan utang di era Jokowi cukup berhati-hati," jelas Panel.

Panel menegaskan dengan rasio utang yang terkendali, sepuluh tahun pembangunan Jokowi pada hakikatnya adalah modal penting sebagai landasan untuk mencapai Indonesia maju.