Bagikan:

JAKARTA - Ketua Tim Hukum Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis menyoroti kentalnya ketidaknetralan berujung nepotisme Presiden Joko Widodo dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.

Dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK), Todung menyebut nepotisme Jokowi dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

"Nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam Pilpres 2024 dilakukan begitu rapi secara terstruktur, sistematis, dan masif yang pada akhirnya membuat Pilpres 2024 hanya menjadi aksi teatrikal belaka," kata Todung di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 27 Maret.

Sebagai pemohon gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), kubu Ganjar-Mahfud mencatat ribuan pelanggaran pemilu sebelum pemungutan suara. Hal ini, menurut dia, sangat memengaruhi perilaku pemilih yang mencoblos di TPS.

Pelanggaran yang terjadi mencakup intervensi kekuasaan, ketidaknetralan aparat penegak hukum, ASN maupun kepala desa, politisasi bantuan sosial, blackmail campaign dan pelanggaran-pelanggaran lainnya.

"Seluruhnya bersumber dari satu hal, adanya nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo yang kemudian melahirkan abuse of power terkoordinasi guna memenangkan Pasangan Calon nomor urut 2 dalam 1 putaran," ucap Todung.

Hal inilah yang mendasari Ganjar-Mahfud, dalam petitum gugatannya, meminta MK memerintahkan KPu untuk mengulang Pilpres 2024 paling lambat pada 26 Juni 2024.

 

Tentunya, dengan syarat tidak menyertakan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Tak hanya itu, MK juga diminta untuk mendiskualifikasi Prabowo-Gibran sebagai peserta Pilpres 2024 dan membatalkan hasil penghitungan suaranya.

"Karena magnitude pelanggaran yang begitu terstruktur, sistematis dan masif maka sangat beralasan kalau Mahkamah Konstitusi memutuskan diadakannya pemungutan suara ulang, karena hanya hal inilah yang mampu memulihkan kembali integritas pemilihan umum dan pemilihan presiden di bumi tanah air Indonesia," imbuhnya.