Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap dugaan korupsi pembiayaan yang dilakukan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) telah merugikan keuangan negara. Totalnya tak main-main mencapai ratusan miliar rupiah.

“Penyimpangan yang dilakukan oleh Direksi LPEI dan caranya dalam pemberian fasilitas pembiayaan ekspor dan penyelesaian pembiayaan tahun masa kepada PT PI terdapat potensi kerugian negara sebesar sekurang-kurangnya 54.500.000 dolar atau dengan kurs Rp14.047,99 senilai Rp766.705.455.000,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata kepada wartawan dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 19 Maret.

Alexander memerinci dugaan kerugian negara ini berawal dari pemberian kredit modal kerja ekspor (KMKE) oleh LPEI. Hanya saja, prosesnya dilakukan secara kurang hati-hati dan tidak memperhatikan kondisi dari debitur.

Adapun salah satu yang menerima KMKE adalah PTPE. Perusahaan ini mendapat fasilitas sebayak tiga kali, rinciannya 22 juta dolar Amerika Serikat pada 2015; Rp40 miliar pada 2016; dan Rp200 miliar sekitar tahun 2017.

“Ini bertujuan mendukung modal kerja PTPE dalam usaha niaga umum BBM dan bahan bakar minyak lainnya,” jelas Alexander.

Hanya saja, pemberian kredit modal ini mengabaikan security coverage ratio atau kelayakan pengajuan pembiayaan dan indikasi ketidakwajaran dalam laporan keuangan periode Juni 2015. “Jadi laporan keuangan PTPE diduga tidak mengandung kebenaran,” tegasnya.

“Itu pada laporan PTPE dijadikan rujukan dalam analisis pemberian pembiyaan ke PTPE,” sambung Alexander.

Alexander juga menyebut kecurangan terjadi karena ada penggelembungan piutang. “Secara keseluruhan jaminan-jaminan yang diberikan PTPE itu lebih kurangnya tidak bisa menutup fasilitas pembiayaan yang diberikan keada PTPE. Jadi, jaminannya rendah tidak menutup kredit yang diberikan,” ungkap Alexander.

Tak sampai di sana PTPE juga memanipulasi laporan keuangan sehingga meningkatkan nilai valuasi. Sehingga, terjadi fraud yang disebabkan karena ketidaktelitian.

Berikutnya, terjadi kecurangan setelah komite pembiyaan KMKE menyetujui langkah bisnis terkait bisnis ritel BBM untuk memasok PLN melalui PT KPM. Padahal perusahaan ini keuangannya bermasalah.

“Bahwa PT KPM merupakan salah satu debitur LPEI yang kolektabilitasnya macet dan merupakan anak perusahaan PT PE. Jadi PT KPM dan PE terafiliasi,” ujar Alexander.

Lebih lanjut, PTPE dinyatakan pailit padahal masih punya tunggakan terhadap LPEI sebesar Rp840 miliar. Sehingga LPEI berusaha melakukan penyelamatan dengan skema pengalihan piutang melalui pihak ketika atau cessie dengan nilai 60 juta dolar Amerika Serikat atau setara Rp844 miliar.

Piutang ini dialihkan ke PT Catur Karsa Megatunggal (CMT) senilai 10 juta dolar Amerika Serikat serta PTPI senilai 50 juta dolar Amerika Serikat pada 10 Maret. Prosesnya tertuang dalam akta.

Sehingga, ada dugaan cessie ini dilakukan semata-mata untuk mengalihkan piutang dari perusahaan pailit ke perusahaan lain yang sama pemiliknya. Sebab, PT CMT memiliki saham di PTPE begitu juga dengan PTPI yang dimiliki GM.

Pembayaran piutang itu sudah dilakukan PT CMT sebagian atau sebesar 5,5 juta dolar sehingga tersisa 4,5 juta dolar. Sedangkan PTPI belum melakukan pembayaran.

“Kita belum lihat apakah PTPI dan PT CMT layak usahanya dan seterusnya. Nanti akan didalami dalam proses penyidikan,” pungkas Alexander.