Pesimisme Pengusaha Hotel tentang Tambahan Cuti Bersama
Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani. (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut penambahan hari libur dan cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1441 H atau tahun 2020 tak akan berdampak signifikan bagi sektor pariwisata. Pasalnya, merebaknya virus corona atau COVID-19 justru akan menurunkan daya beli.

Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan, saat ini juga terjadi kepanikan di tengah masyarakat mengenai wabah COVID-19. Sehingga, kata dia, masyarakat lebih memilih untuk tinggal di rumah.

"Kami sampaikan bahwa catatan kami di 2018 sebetulnya penambahan hari libur itu tidak begitu berdampak signifikan terhadap pariwisata kita. Kalau lihat situasi seperti ini, kami tidak akan begitu yakin, karena di 2018 juga seperti itu. Kami melihat efeknya tidak begitu besar," katanya, saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Kamis, 12 Maret.

Menurut dia, dengan kondisi saat ini daya beli masyarakat ini sedang menurun. Ditambah lagi, wabah COVID-19 ini menurutnya akan memengaruhi daya beli.

Kepanikan di tengah masyakat, kata Hariyadi, betul-betul berdampak negatif terhadap ekonomi. Saat ini, semua sektor mengalami permasalahan yang sangat serius terhadap kinerja masing-masing sektor, terutama yang paling terdampak adalah periwisata.

"Ini sudah terjadi di Januari dan itu juga diperparah selain masyarakat panik, pemerintah sendiri mereka juga melakukan larangan kegiatan aktivitasnya. Ini jadi kontradiktif," jelasnya.

Di sisi lain, penambahan waktu libur justru akan merugikan pengusaha di sektor manufaktur. Hariyadi mengatakan, hal itu karena sulitnya industri manufaktur mendapatkan bahan baku.

"Bahkan kalau untuk manufaktur sendiri malah yang terjadi adalah penurunan produktivitas," jelasnya.

Apalagi, kata Hariyadi, stimulus insentif yang diberikan pemerintah belum dapat dirasakan. Menurut dia, bukan tidak efektif pemberian insentif bebas pajak hotel dan restoran selama enam bulan tersebut, namun permasalahannya eksekusi insentif itu perlu waktu.

"Karena konsep dari pemerintah pusat adalah untuk mengganti pendapatan dari pajak hotel dan restoran yang hilang karena di 0 kan. Nah itu yang terjadi. Sebenarnya kalau kita lihat dari dampak yang terjadi ini, tidak hanya terbatas pada daerah 10 destinasi saja," tuturnya.

Hariyadi mengungkap, DKI Jakarta juga sudah mulai mengalami hal yang sama dengan hotel dan restoran di daerah lain. Karena itu, perlu dilihat yang jelas saat ini adalah bagaimana menjaga perusahaan, baik hotel atau perusahaan lain yang terdampak.