Bagikan:

JAKARTA - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyatakan, dampak mewabahnya virus corona atau COVID-19 tidak hanya pada pendapatan. Wakil Ketua PHRI Maulana Yusran mengatakan, dampak kepada bisnis perhotelan adalah pada nasib karyawan, di mana sebagian hotel terpaksa mengambil keputusan untuk merumahkan sementara karyawannya.

Apalagi, kata dia, stimulus insentif bebas pajak hotel dan restoran selama enam bulan yang dijanjikan pemerintah belum terealisasi. Ia mengungkap, dalam bisnis perhotelan dan restoran pasti ada minim okupansi, di mana, dalam satu tahun tidak semua bulan menguntungkan untuk bisnis perhotelan atau disebut low season. Biasanya, kata dia, low season terjadi di bulan Januari hingga Maret, dan pada bulan puasa.

"Kondisi dari Januari sampai Maret (2020 ini) memang low season tetapi low-nya benar-benar drop. Dari 12 bulan, ada delapan bulan mereka bisa mendapatkan yang dikatakan high season, itu normalnya. Tapi dengan kondisi seperti ini, dropnya terlalu jauh sehingga berdampak kepada operasional dari masing-masing perusahaan terganggu," katanya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Senin, 9 Maret.

Maulana menjelaskan, jika bicara pariwisata, tidak semua calon wisatawan melakukan pemesanan hotel saat tiba di destinasi wisata yang menjadi tujuannya. Sebab, kebanyakan sudah menyiapkan perencanaan liburan terlebih dahulu. Namun, dengan adanya COVID-19 ini, banyak pemesanan yang dibatalkan.

"Jadi sekarang ini start awal mereka ada yang mencutikan dulu sementara. Tapi bukan tidak mungkin (PHK) itu bisa terjadi, kalau (penurunan okupansi) ini masih berlanjut sampai dua tiga bulan (ke depan)," tuturnya.

Kondisi terberat bagi pengusaha hotel dan restoran adalah dua bulan menjelang Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Maulana berujar, hal ini karena dalam menghadapi lebaran perusahaan harus membayar gaji ke-13 untuk seluruh karyawannya.

Di sisi lain, Maulana mengungkap, stimulus insentif di sektor pariwisata yakni pembebasan pajak hotel dan restoran selama enam bulan yang dicanangkan pemerintah belum terealisasi. Padahal, insentif tesebut dikabarkan belaku mulai awal Maret.

"Ya kan kita sampai sekarang belum ngerasain. Itu kan infonya sistem tersebut berlaku mulai Maret tapi sampai saat ini belum ada eksekusinya. Belum ada implementasinya dari statement itu. Jadi bukan belum berdampak (membantu). Karena yang disampaikan itu belum ada realisasinya," tegasnya.

Maulana berharap, pemerintah tidak hanya memberikan insentif pada sektor pemasaran yakni dengan membebaskan pajak hotel dan restoran. Namun, katanya, juga harus memberi relaksasi terhadap bisnisnya. Tujuannya, agar kondisi ini tidak berdampak sampai pada pemutus hubungan kerja (PHK).

"Bisnisnya juga diperhatikan. Bagaimana menyelamatkan bisnis supaya tidak terjadi gelombang PHK. Contoh ada enggak pertimbangan terhadap electrical cost kita, relaksasi pajak dan distribusi daerah terus kewajiban bayar perbankan ini kan mestinya dilihat," tuturnya.

Meski mengalami penurunan pengujung, kata Maulana, hotel-hotel tetap mengeluakan biaya operasi yang tinggi. Di antaranya, kata dia, biaya listrik, retribusi dan pajak daerah, dan membayar kewajiban atau kredit di perbankan.

"Nah kita berharap ada relaksasi di dalam situ. Seperti negara-negara lain yang melakukan, misal Singapura meraka melakukan terhadap karyawan atau employee. Bagaimana mereka melakukan terhadap employee-nya langsung seperti memberi insentifnya. Ada negara lain melakukan untuk membantu industrinya direct memberikan insentif," tuturnya.

Sementara untuk insentif pemasaran, kata Maulana, memang saat ini juga dibutuhkan pengusaha perhotelan dan restoran. Namun, dampak ini sebenarnya tidak begitu signifikan jika dibandingkan dengan relaksasi dari sektor bisnisnya.

"Jadi misalnya kalau pajak hotel restoran itu cuma untuk market tapi tidak membantu bisnisnya. Karena kan pajak hotel dan restoran itu dipungut pada saat ada pembeli," jelasnya.

Maulana juga berharap, pemerintah pusat dapat berkolaborasi dengan pemerintah daerah untuk membantu bisnis perhotelan dan restoran tetap hidup di tengah wabah COVID-19.

"Jadi pemerintah daerah itu ikut membantu di situ. Jadi jangan disubsidi pakai dana APBN. Kan kasihan beban di pusatnya. Padahal itu kan domainnya dari pemerintah daerah. Itu mesti dilihat ke sana," tuturnya.

Sebelumnya, Ekonom dari Institute of Development Economics and Finance (Indef), Faisal Basri menyatakan, upaya pemerintah dalam memberikan insentif kepada sektor pariwasata di tengah tertekannya kunjungan wisatawan akibat virus corona tidaklah efektif. Pasalnya menurut dia, COVID-19 membuat orang enggan untuk bepergian, apalagi berwisata.

"Orang nggak mau bepergian, orang nggak mau ke tempat keramaian hotel atau restoran. Sekarang tempat keramaian malah didiskon. Pusing lah itu. Yang terpenting untuk menghadapi virus corona adalah bukan dengan diskon pesawat," kata Faisal kepada awak media, Jumat 6 Maret 2020.

Terkait kebijakan untuk membebaskan sementara pajak hotel dan restoran terhadap 10 destinasi, Faisal menuturkan, hal ini malah membuat pemerintah daerah kehilangan pendapatannya dan semakin memperburuk perekonomian.

"Kalau daerah wisata, pendapatan utama Pemda sangat dominan dari pajak hotel dan restoran. Misalnya Bandung, dari hotel saja pendapatannya tinggi, triliunan dari pajak. Kompensasi ini malah melemahkan ekonomi daerah," kata Faisal.

Menurut ekonom senior ini, seharusnya sektor yang cocok diberikan insentif saat terjadi wabah virus corona adalah kesehatan publik, bukan sektor pariwisata. "Paling penting untuk menghadapi virus corona ini adalah strong public health policy response. Jadi respon kebijakan kesehatan publik yang kuat, jangan cuman berbicara untuk jaga kesehatan," tegas dia.

Pengelolaan informasi, kata Faisal, juga perlu ditingkatkan. Di Singapura misalnya, perkembangan soal virus corona diberikan langsung ke masyarakat melalui gawai masing-masing.

"Kalau di Singapura warganya di WA setiap hari dua kali tentang bagaimana progress terkait COVID-19 yang disampaikan pemerintah di sana (Singapura)," kata Faisal.