Bagikan:

JAKARTA - Penyebaran virus Corona baru atau COVID-19 berdampak pada keresahan dan ketakutan masyarakat dunia, termasuk di Indonesia yang hingga hari ini telah catatkan enam kasus. Kali pertama kasus ini diumumkan, masyarakat langsung berbondong-bondong memborong kebutuhan, mulai dari sembako, masker, hingga hand sanitizer. Dua kebutuhan terakhir bahkan melonjak harganya.

Namun, di balik kekhawatiran atas wabah COVID-19, ada sisi lain yang belum banyak diketahui. Kisah tentang orang-orang yang berada paling depan untuk menangkal atau bahkan menyembuhkan para penderita. Beberapa waktu lalu, tim VOI mendatangi Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianto Saroso. Di sana, kami menemui sejumlah tenaga medis yang jadi garda terdepan melawan COVID-19.

Bukan hal mudah. Sejumlah prosedur harus kami penuhi untuk mendapat izin resmi. Usaha kami untuk mendapat izin berbuah manis. Pihak rumah sakit memperbolehkan kami berbincang-bincang dengan dokter serta perawat yang menangani para pasien positif dan suspect COVID-19. Sekitar satu jam kami menunggu perbincangan itu, di sebuah ruangan dengan kursi dan meja kayu panjang.

Akhirnya, seorang wanita berkerudung masuk ke dalam ruangan. Kami bersalaman. Wajah sang wanita nampak segar. Bibirnya dihiasi gincu merah serta bedak. Ia berias diri. Kepada kami, ia memperkenalkan diri. Widya, namanya. Ia adalah seorang perawat di ruang isolasi RSPI Sulianti Saroso. Ia menyampaikan maaf karena harus mandi terlebih dulu sebelum bertemu kami.

Widya (Perawat)

Widya, perawat di ruang isolasi RSPI Sulianti Saroso (Irfan Meidianto/VOI)

Widya duduk di hadapan kami. Cerita pun dimulai. Hal pertama yang Widya sampaikan kepada kami tentang perasaannya menjadi ujung tombak perlawanan terhadap virus. Ia boleh jadi orang yang dadanya paling busung. Namun, ia jugalah yang paling berisiko tertular. Widya sadar betul, karenanya ia amat disiplin menjalani berbagai prosedur keamanan, termasuk perlengkapan pelindung.

Selain itu, yang amat penting dalam perlawanan terhadap COVID-19, menurut Widya adalah pengetahuan. Dengan mengumpulkan informasi, setiap orang akan menemukan cara menghindari atau bahkan melawan laju sebaran virus. Atau setidaknya, menghadapi dengan cara yang benar: tak panik berlebih. "Jadi, saya pikir, ketika saya sudah mengikuti semua prosedur itu, Insyaallah sehat," Widya.

Widya sendiri, seperti yang ia katakan di awal pertemuan, harus lebih rajin mandi setiap keluar dari ruang isolasi dan bersentuhan dengan pasien. Rasa ingin tahu kami semakin besar, menguapkan hawa dingin yang sebelumnya kami rasakan di seisi ruangan. Widya melanjutkan ceritanya. Ia bilang, ini adalah tahun kelima ia hidup sebagai perawat. Selama itu juga berbagai macam wabah ia hadapi.

Virus-virus yang secara hitung-hitungan ilmiah lebih berbahaya dari COVID-19 pun pernah ia hadapi. Sebut saja SARS hingga flu burung. Widya tahu, COVID-19 tak seberbahaya pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kita tahu, angka kesembuhan COVID-19 terbilang tinggi. "Alhamdulillah, (saya) sehat." Ada senyum di sudut bibir Widya. Entah, tapi kami semua tertawa usai bahasan tersebut.

Kemudian, pertanyaan selanjutanya kami sambung dengan apa respons keluarga ketika mendengar ia harus betugas menjaga para pasien COVID-19. Widya mengatakan, tak ada respons negatif yang diutarakan keluarganya. Namun, ia tetap harus memberikan pengertian kepada seluruh anggota keluarganya. "Orang-orang rumah hanya berpesan untuk hati-hati saja. Sudah itu saja. Alhamdulillah, mereka paham karena ini sudah menjadi pekerjaan saya dan yakinlah di sini kita terlindungi," katanya.

Jawaban Widya memancing kami melihat sekitar untuk memastikan seberapa masuk akal pengakuan Widya. Jujur saja, Widya barangkali benar. Suasana di ruang isolasi tak semengerikan bayangan kita. Di sana, pasien tetap beraktivitas. Bahkan, interaksi dan komunikasi antara pasien dan tim medis pun terbilang baik. Tak ada ketakutan berlebih di antara mereka. Candaan pun terlontar di antara mereka.

"Jadi, kalau pasien isolasi ketat itu pasti ada rasa cemas yang luar biasa. Apalagi di isolasi, sendiri, tidak boleh dikunjungi keluarga. Terus, mereka kebanyakan cemas dan sedih. Jadi, ketika kami masuk ke ruang pasien, kami akan selalu berikan motivasi, ajak ngobrol. Bahkan, kita bercanda biasa. Yang penting pasien bisa merasa nyaman, tidak stres dengan penyakitnya," tutur Widya.

Di akhir percakapan, Widya mengatakan, tak ada yang lebih penting dari kesembuhan pasien. Baginya, kesembuhan para pasien adalah bayaran tak ternilai. "Ketika pasien keluar dari ruangan kita dengan kata terima kasih, sehat, senyum keluar dari ruangan kita, itu adalah hal yang paling membahagiakan bagi kita, para petugas kesehatan," Widya.

Dokter Yuki (Spesialis Paru)

Dokter Yuki (Irfan Meidianto/VOI)

Sekitar 15 menit setelah keluarnya Widya dari ruangan, seorang wanita berhijab kembali masuk ke ruangan kami. Kali ini, Yuki, seorang dokter spesialis paru. Kami sempat becanda gurau terlebih dahulu untuk mencairkan suasana sebelum memintanya untuk bercerita.

Perbicangan dengan Yuki jauh lebih santai dan banyak dipenuhi tawa. Seperti Widya, dukungan penuh keluarga jadi faktor penting bagi Yuki menjalani tugasnya menghadapi COVID-19. Dan bagi Yuki lebih mudah memang, karena keluarganya berlatar belakang dari kalangan medis.

Sebagaimana Widya, COVID-19 bukan virus paling berbahaya buat Yuki. COVID-19 tak semematikan virus MERS yang sebelumnya dihadapi Yuki beberapa tahun lalu. Lagi-lagi, merujuk angka kematian yang tergolong rendah dibanding virus lain.

"Utungnya, keluarga saya background-nya semuanya medis. Jadi kita sudah tahu penularannya gimana. Cuma kita tahu angka kematiannya sedikit. Jadi, orang rumah tidak khawatir. Aman-aman saja, karena kita pernah menghadapi virus MERS yang angka kematiannya lebih tinggi," ungkap Yuki.

"Jadi, selama meyakinkan keluarga adalah ini pasien kita rawat di ruang berbeda, ruang isolasi ketat yang bertekanan negatif. Jadi amat sangat kecil kita keluar membawa virus ini," sambungnya.

Pada perbincangan kami, Yuki juga menceritakan kedekatan antara perawat dengan para pasien. Dengan minimnya waktu karena terhalang alat pelindung yang sangat ketat, tak jarang percakapan terjadi saat proses mandi. Perawat dan pasien kadang terlihat bernyanyi bersama untuk saling menghibur dan membunuh kebosanan.

"Jadi percakapannya memang dijaga, komunikasi dokter pasien. Cuma memang tidak bisa lama. Jadi pasiennya lebih memahami. Karena kalau kita dokter, satu ruangan tidak ada yang bisa kita lihat, ketika berusaha menemani untuk mengalihkan pikirannya dari penyakit, jadi bercerita keluarga, perawat-perawat saya ketika memandikan ikut bernyanyi," katanya.

Pernyataan Yuki memperkuat pesan yang disampaikan Widya, bahwa tak perlu panik berlebih menghadapi COVID-19. Sebab, ada peluang untuk mengalahkan COVID-19. Peluang yang besar kecilnya bergantung cara kita menghadapinya.