OJK Sebut Restrukturisasi Kredit Perbankan Tembus Hampir Rp1.000 Triliun
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Wimboh Santoso. (Foto: Dok. OJK)

Bagikan:

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa kebijakan restrukturisasi kredit perbankan telah menyentuh angka Rp987,48 triliun dari 7,94 juta debitur.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan jumlah tersebut merupakan akumulasi yang dihitung hingga 8 Februari 2021.

“Untuk sektor UMKM mencapai 6,15 juta debitur dengan nilai Rp388,33 triliun. Sementara non-UMKM mencapai 1,79 juta debitur dengan nilai Rp599,15 triliun,” ujarnya melalui keterangan resmi, Kamis, 25 Februari.

Dia menambahkan, untuk restrukturisasi perusahaan pembiayaan hingga 8 Februari sudah mencapai Rp193,5 triliun untuk 5,04 juta kontrak yang disetujui.

“Catatan ini merupakan upaya responsif dari pelaku industri untuk merespon kebijakan stimulus dari OJK untuk mendorong pemulihan ekonomi,” tuturnya.

Lebih lanjut, Wimboh juga memaparkan soal langkah otoritas yang terus mendorong penyesuaian suku bunga kredit perbankan agar dapat seirama dengan keputusan Bank Indonesia.

“OJK telah berhasil mendorong perbankan menurunkan suku bunga kredit produktif yang sudah terus turun sejak 2016 menjadi di bawah 10 persen,” klaim dia.

Untuk diketahui, suku bunga kredit modal kerja turun mulai Mei 2016 dari 11,74 persen menjadi 9,27  persen di Januari 2021.

Kemudian, suku bunga kredit investasi posisi Mei 2016 di 11,42 persen turun menjadi 8,83 persen di Januari 2021. Sementara suku bunga kredit konsumsi sudah turun dari Mei 2016 di posisi 13,74 persen menjadi 10,95 persen di Januari 2021.

“OJK berkomitmen kuat untuk mendukung program percepatan pemulihan ekonomi nasional dan telah mengeluarkan kebijakan stimulus lanjutan secara terukur dan tepat waktu untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional,” katanya

“Ke depan, OJK akan terus mengoptimalkan berbagai kebijakan dengan memperkuat sinergi dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan,” tutup Wimboh.